Oleh : Moh. Zulfajrin, Mahasiswa Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman merupakan suatu proses yang
rumit serta dipengaruhi oleh banyak faktor seperti intensitas cahaya,
air, kandungan CO2 udara, aparatus fotosintesis (kloroplas,
klorofil) dan unsur hara. Keseluruhan faktor-faktor diatas bervariasi
pada letak/lokasi yang spesifik,jenis, varietas bahkan individu yang
berbeda sehingga didapatkan hasil perimbangan antara respirasi dengan
fotosintesis yang berbeda dimana hal tersebut berujung pada produksi
yang bervariasi. Faktor internal seperti aparatus fotosintesis yang
keadaannya dipengaruhi oleh genetik tanaman dan faktor eksternal seperti
kandungan unsur hara sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
tanaman
Pertanian Modern sekarang ini masih menganut sistem monokultur,
pemupukan dan pengendalian hama secara intensif untuk menghasilkan
produksi maksimum. Memang hal tersebut tidak dapat disangkal karena
hampir seluruh ekspor produk-produk pertanian sekarang mengandalkan
ketiga hal diatas agar tetap bertahan dalam produksinya. oleh karena
itu, perlu pengetahuan yang cukup mengenai banyak aspek yang saling
menunjang didalam kegiatan pertanian itu sendiri agar tidak terjadi
kegagalan panen akibat kurang cerdiknya petani mengantisipasi berbagai
hambatan dan tantangan serta kurang cekatan dalam menganalisis berbagai
peluang positif yang mungkin timbul sesuai teknik bertani yang
digunakan.
Beberapa masalah yang mungkin akan timbul dalam kegiatan pertanian monokultur.
1. Efek Pinggir yang terpinggirkan
Tanaman jagung yang berada pada pinggiran petak biasanya mendapatkan efek
yang dinamakan “efek pinggir”, Sejatinya, tanaman pinggir
ini akan tumbuh lebih baik karena kurangnya saingan dengan tanaman
tetangganya sehingga dapat berproduksi lebih maksimal dibanding tanaman
yang berada di tengah petak meskipun diberikan asupan pupuk yang kurang
lebih sama. Akan tetapi pada beberapa kasus, malah tanaman pinggir yang
mempunyai masalah dengan pertumbuhan dan perkembangannya. Masalah ini
ini kemungkinan bukan disebabkan oleh kurangnya pemberian pupuk,
melainkan kurang tersedianya pasokan air karena jauh dari spingkle
(penyemprot air), sehingga tanaman jagung tersebut hanya mengandalkan
penyediaan air dari air hujan. Hal ini membuktikan bahwa selain
membutuhkan asupan pupuk yang cukup, tanaman jagung juga membutuhkan
ketersediaan air yang memadai disaat-saat awal pertumbuhannya agar dapat
memberikan produksi yang maksimal.
Gejala kekurangan unsur hara juga ditemukan pada beberapa tanaman
pinggir yang juga mengalami kekerdilan dimana tanaman muda memiliki daun
yang berwarna ungu dibagian pinggirnya. Hal ini mengindikasikan tanaman
tersebut kekurangan unsur fosfor meskipun asupan fosfor telah diberikan
melalui pupuk SP-36. Kemungkinan hal tersebut disebabkan oleh kurangnya
kandungan air pada tanah sehingga larutan tanah yang menyediakan ion
fosfat kepada tanaman kurang tersedia. Kemungkinan lain adalah kondisi
tanah yang masam, membuat kelarutan ion-ion logam seperti aluminium dan
besi menjadi tinggi yang membuat kompleks dengan ion fosfat (Al-P dan
Fe-P). Hal ini mengakibatkan ion-ion fosfat terpresipitasi (terendapkan)
dan menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Itulah sebabnya mengapa sering
terjadi keadaan dimana tumbuhan kekurangan fosfor meskipun uji
laboratorium menunjukkan kadar fosfor total pada tanah tinggi
Kekurangan fosfor juga memberikan efek samping yang buruk bagi
tanaman karena sesuai dengan prinsip Gaia (prinsip toleransi/hukum
minimum) yang menyatakan bahwa penyerapan unsur hara ditentukan oleh
kandungan salah satu unsur yang paling minimum. Pada kasus ini unsur
fosfor membuat penyerapan unsur hara lain menjadi tidak optimal,
sehingga menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman menjadi
terhambat. Kekurangan fosfor juga memicu munculnya spesies cendawan
patogen yang menyerang tanaman jagung seperti jenis Giberella zeae yang menyebabkan penyakit “Stalk root” serta jenis Giberella saubinettii yang menyebabkan penyakit “root rot”. (Danoff et.all 2007)
2. Masa Panen “tidak Match” dengan Musim
Percobaan gabungan yang dilakukan oleh mahasiswa Jurusan Ilmu Tanah
dan Sumberdaya Lahan serta mahasiswa Jurusan Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor membuktikan bahwa meskipun telah dilakukan pemberian insektisida furadan
dan penyemprotan, serangan hama tetap terjadi hampir pada seluruh petak
percobaan. Ulat yang menyerang batang dan buah jagung membuat sebagian
tanaman jagung mengalami kegagalan produksi dan buah yang tak layak
konsumsi. Belalang dan walang sangit yang memakan daun jagung terutama
daun tanaman muda membuat sebagian tanaman tidak bisa bertahan meskipun
berada pada lokasi yang paling subur sekalipun. Meningkatnya serangan
hama ulat kemungkinan disebabkan oleh keadaan cuaca yang sering hujan
pada saat-saat menjelang panen. Oleh karena itu, kegiatan penanaman
monokultur yang saling berdekatan menjadi ditambah dengan musim yang
sesuai menjadi pemicu meluasnya serangan ulat dan hama-hama lainnya
secara besar-besaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar