Minggu, 19 April 2015

Sempilan Sebelum Tidur: Beberapa Hambatan Pertanian Monokultur Jagung

Oleh : Moh. Zulfajrin, Mahasiswa Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
          Pertumbuhan dan perkembangan tanaman merupakan suatu proses yang rumit serta dipengaruhi oleh banyak faktor seperti intensitas cahaya, air, kandungan CO2 udara, aparatus fotosintesis (kloroplas, klorofil) dan unsur hara. Keseluruhan faktor-faktor diatas bervariasi pada letak/lokasi yang spesifik,jenis, varietas bahkan individu yang berbeda sehingga didapatkan hasil perimbangan antara respirasi dengan fotosintesis yang berbeda dimana hal tersebut berujung pada produksi yang bervariasi. Faktor internal seperti aparatus fotosintesis yang keadaannya dipengaruhi oleh genetik tanaman dan faktor eksternal seperti kandungan unsur hara sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman
         Pertanian Modern sekarang ini masih menganut sistem monokultur, pemupukan dan pengendalian hama secara intensif untuk menghasilkan produksi maksimum. Memang hal tersebut tidak dapat disangkal karena hampir seluruh ekspor produk-produk pertanian sekarang mengandalkan ketiga hal diatas agar tetap bertahan dalam produksinya. oleh karena itu, perlu pengetahuan yang cukup mengenai banyak  aspek yang saling menunjang didalam kegiatan pertanian itu sendiri agar tidak terjadi kegagalan panen akibat kurang cerdiknya petani mengantisipasi berbagai hambatan dan tantangan serta kurang cekatan dalam menganalisis berbagai peluang positif yang mungkin timbul sesuai teknik bertani yang digunakan.
         Beberapa masalah yang mungkin akan timbul dalam kegiatan pertanian monokultur.
1. Efek Pinggir yang terpinggirkan
        Tanaman jagung yang berada pada pinggiran petak biasanya mendapatkan efek yang dinamakan “efek pinggir”,  Sejatinya, tanaman pinggir ini akan tumbuh lebih baik karena kurangnya saingan dengan tanaman tetangganya sehingga  dapat berproduksi lebih maksimal dibanding tanaman yang berada di tengah petak meskipun diberikan asupan pupuk yang kurang lebih sama. Akan tetapi pada beberapa kasus, malah tanaman pinggir yang mempunyai masalah dengan pertumbuhan dan perkembangannya. Masalah ini ini kemungkinan bukan disebabkan oleh kurangnya pemberian pupuk, melainkan kurang tersedianya pasokan air karena jauh dari spingkle (penyemprot air), sehingga tanaman jagung tersebut hanya mengandalkan penyediaan air dari air hujan. Hal ini membuktikan bahwa selain membutuhkan asupan pupuk yang cukup, tanaman jagung juga membutuhkan ketersediaan air yang memadai disaat-saat awal pertumbuhannya agar dapat memberikan produksi yang maksimal.
         Gejala kekurangan unsur hara juga ditemukan pada beberapa tanaman pinggir yang juga mengalami kekerdilan dimana tanaman muda memiliki daun yang berwarna ungu dibagian pinggirnya. Hal ini mengindikasikan tanaman tersebut kekurangan unsur fosfor meskipun asupan fosfor telah diberikan melalui pupuk SP-36. Kemungkinan hal tersebut disebabkan oleh kurangnya kandungan air pada tanah sehingga larutan tanah yang menyediakan ion fosfat kepada tanaman kurang tersedia.  Kemungkinan lain adalah kondisi tanah yang masam, membuat kelarutan ion-ion logam seperti aluminium dan besi menjadi tinggi yang membuat kompleks dengan ion fosfat (Al-P dan Fe-P). Hal ini mengakibatkan ion-ion fosfat terpresipitasi (terendapkan) dan menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Itulah sebabnya mengapa sering terjadi keadaan dimana tumbuhan kekurangan fosfor meskipun uji laboratorium menunjukkan kadar fosfor total pada tanah tinggi
Kekurangan fosfor juga memberikan efek samping yang buruk bagi tanaman karena sesuai dengan prinsip Gaia (prinsip toleransi/hukum minimum) yang menyatakan bahwa penyerapan unsur hara ditentukan oleh kandungan salah satu unsur yang paling minimum. Pada kasus ini unsur fosfor membuat penyerapan unsur hara lain menjadi tidak optimal, sehingga menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman menjadi terhambat. Kekurangan fosfor juga memicu munculnya spesies cendawan patogen yang menyerang tanaman jagung seperti jenis Giberella zeae yang menyebabkan penyakit  “Stalk root  serta jenis Giberella saubinettii yang menyebabkan penyakit “root rot”. (Danoff et.all 2007)
2. Masa Panen “tidak Match” dengan Musim
         Percobaan gabungan yang dilakukan oleh mahasiswa Jurusan Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan serta mahasiswa Jurusan Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor membuktikan bahwa meskipun telah dilakukan pemberian insektisida furadan dan penyemprotan, serangan hama tetap terjadi hampir pada seluruh petak percobaan. Ulat yang menyerang batang dan buah jagung membuat sebagian tanaman jagung mengalami kegagalan produksi dan buah yang tak layak konsumsi. Belalang dan walang sangit yang memakan daun jagung terutama daun tanaman muda membuat sebagian tanaman tidak bisa bertahan meskipun berada pada lokasi yang paling subur sekalipun. Meningkatnya serangan hama ulat kemungkinan disebabkan oleh keadaan cuaca yang sering hujan pada saat-saat menjelang panen. Oleh karena itu, kegiatan penanaman monokultur yang saling berdekatan menjadi ditambah dengan musim yang sesuai menjadi pemicu meluasnya serangan ulat dan hama-hama lainnya secara besar-besaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar