Minggu, 19 April 2015

Sepotong Pengantar untuk Memulai Sesuatu yang Lebih Baik: Produksi Jagung Indonesia

Oleh : Moh. Zulfajrin, Mahasiswa Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Posisi Indonesia sebagai negara beriklim tropis membuat Indonesia selayaknya menetapkan produk pertanian sebagai kekuatan utama. Produk pertanian yang seharusnya dikembangkan sebagai komoditas andalan selain padi adalah jagung. Selain karena menjadi salah satu bahan makanan pokok bagi beberapa suku di Indonesia, jagung juga merupakan bahan baku berbagai jenis komoditi lainnya sehingga permintaan jagung dunia sangat tinggi. Oleh karena itu, petani Indonesia seharusnya memilih jagung sebagai pilihan kedua setelah bertanam padi. Apalagi lahan di Indonesia yang cukup luas membuat pengusahaan jagung di Indonesia cukup menjanjikan.
Perkembangan produksi jagung di Indonesia, telah memberikan pemenuhan terhadap konsumsi jagung masyarakat diseluruh  wilayah dan kemungkinan besar sebagai negara penghasil jagung di dunia. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Dirjen Kementerian Pertanian (kementan) menyatakan bahwa produksi jagung nasional mencapai 17,6 juta ton pipilan kering dengan luas panen 4,8 juta hektare. Dari angka tersebut dapat dilihat bahwa produksi jagung Indonesia masih jauh dari Amerika Serikat dan China yang menempati urutan pertama dan kedua yang menyumbangkan 60 persen dari total 768 juta ton produksi jagung dunia.
Dukungan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan terkait dengan perencanaan Indonesia sebagai negara pengekspor jagung di dunia. Pemerintah Indonesia telah mencanangkan kebijakan yang mengarah kepada ketahanan pertanian Indonesia yang mandiri dan berkelanjutan. Langkah pemerintah ini mendapat berbagai tantangan dan hambatan terutama dari masalah penyusutan lahan akibat konversi lahan yang terus terjadi akibat pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang signifikan, belum lagi kondisi ini diperparah dengan degadrasi lahan akibat program intensifikasi pangan yang diterapkan oleh pemerintah rezim orde baru sebagai implementasi revolusi hijau di Indonesia. Oleh karena itu, program pemerintah ini harus diimbangi dengan penelitian jagung yang simultan agar produksi jagung diharapkan dapat terus bertambah dengan luas lahan yang tetap atau yang lebih parah lagi, dengan lahan yang terus menyusut. Berbagai varietas tanaman jagung unggul seperti jagung hibrida dan jagung bersari bebas telah diteliti dan dikembangkan untuk memaksimalkan keeefisienan penggunaan energi untuk budidaya. Penelitian mengenai pengaruh lingkungan terutama pupuk terhadap pertumbuhan dan produksi jagung juga telah menjadi bahan penelitian para sarjana pertanian selama bertahun-tahun. Hasilnya diharapkan dapat meningkatkan kompetensi mahasiswa pertanian dimana program pemerintah terbantu dan terkontrol sehingga dapat mewujudkan kemakmuran dibidang ekonomi khususnya produksi jagung yang mengarah kepada ketahanan pertanian Indonesia yang mandiri dan berkelanjutan.

Membangun Ketahanan Pangan Masyarakat Desa Melalui Lumbung Padi Tradisional

Oleh : Syah Deva Ammurabi, Mahasiswa Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Tanpa pangan, manusia tidak dapat menjalankan aktivitasnya dengan baik. Berdasarkan kenyatann tersebut, Mantan Presiden Republik Indonesia (RI) Ir. Soekarno menganggap bahwa pangan merupakan soal hidup-matinya suatu bangsa.

Beras merupakan makanan pokok lebih dari 95% rakyat Indonesia. Beras dihasilkan melalui penggilingan tanaman padi. Kegiatan bercocok tanam padi telah menyediakan lapangan pekerjaan bagi sekitar 20 juta rumah tangga petani di pedesaan (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi 2009). Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional 2013, konsumsi beras per kapita RI sebesar 85,5 kg (Badan Pusat Statistik 2013). Sementara itu, menerut Sensus Penduduk Indonesia 2010, penduduk Indonesia berjumlah 237.556.363 orang dengan pertumbuhan rata-rata 1,49% setiap tahunnya (Badan Pusat Statistik 2010). Kebutuhan pangan di Indonesia terus bertambah seiring bertambahnya jumlah penduduk. Untuk itu, pemerintah terus berupaya meningkatkan prosuktivitas padi dan mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Indonesia dengan tanahnya yang subur memungkinkan penanaman padi secara intensif dengan panen sekitar 2-3 kali dalam setahun. DI sisi lain, Indonesia merupakan negara yang rawan berbagai bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, gempa bumi, gunung meletus, dan sebagainya. Hal ini menyebabkan pasokan pangan seringkali terganggu. Selain itu, infrastruktur yang buruk turut menghambat distribusi pangan.

Oleh karena itu, keberadaan cadangan beras sangat penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan menjaga kestabilan harga di pasar. Selama ini, sebagian besar cadangan beras nasional disimpan dalam gudang-gudang Badan Usaha Logistik (Bulog) dalam bentuk Cadangan BEras Pemerintah (CBP) (Bulog 2010). Namun, banyak masyarakat yang mengeluhkan mengenai buruknya kualitas beras Bulog. Selain itu, cadangan beras bulog tidak selalu mencukupi kebutuhan masyarakat.

Untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasokan beras Bulog, keberadaan lumbung padi di desa-desa penghasil padi sangat diperlukan sebagai salah satu upaya untuk menjaga ketahanan pangan di Indonesia. Padi tersebut disimpan dalam bentuk gabah. Padi yang disimpan dalam lumbung berfungsi sebagai cadangan kebutuhan pangan masyarakat.

Secara tradisional, masyarakat Indonesia telah lama mengenal lumbung padi sebagai kearifan lokal mereka, misalnya Rangkiang (Minangkabau), Leuit (Baduy dan Sunda), Alang (Toraja), Sambik (Lombok), dan sebagainya. Kepemilikannya dipegang oleh setiap keluarga atau secara kolektif oleh desa. Dalam masyarakat tradisional, lumbung dianggap sebagai lambang kekayaan bagi pemiliknya.

Lumbung-lumbung padi tersebut sangat cocok untuk dikembangkan secara kolektif di pedesaan, karena tidak semua warga mempunyai lumbung sendiri. Penyimpanan padi secara kolektif dapat menumbuhkan sikap gotong royong dan kebersamaan warga desa. Untuk mewujudkan hal tersebut, penduduk desa (pemilik lahan) diharapkan kesediannya untuk menyimpan padinya dalam lumbung. Perangkat desa juga dapat memeberikan akses terhadap cadangan padi lumbung kepada pemilik lahan yang menyerahkan hasil panennya, serta sanksi berupa pelarangan akses terhadap cadangan padi lumbung kepada pemilik lahan yang tidak menyumbangkan hasil panennya. Selain itu, pemerintah dapat memberikan bantuan berupa dana dan kemudahan regulasi dalam pembangunan lumbung-llumbung tersebut. Jika peran pemerintah dinilai kurang, pembangunan lumbung dapat dilakukan secara swadaya oleh masyarakat desa. Sehingga, terwujudlah ketahanan dan kemandirian pangan masyarakat pedesaan, Selain itu, keberadaan lumbung padi tradisional tersebut turut melestarikan budaya setempat.
 Daftar Pustaka

Administrator. 2014. Belajar Ketahanan Pangan dan Kearifan Lokal Lombok Utara [Internet]<a>http://bkp.ntbprov.go.id/berita-182-belajar-ketahanan-pangan-dari-kearifan-lokal-lombok-utara.html [5 April 2014]

Arievrahman. 2012. Mari Belajar dari Baduy [Internet] <a>http://backpackstory.me/2012/07/01/mari-belajar-dari-baduy/ [13 April 2014]

Badan Pusat Statistik.2013. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik

Badan Pusat Statistik.2010. Hasil Sensus Penduduk 2010 Data Agregat Per Provinsi. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2009. Pedoman Umum Peningkatan Produksi Padi Melalui  Pelaksanaan IP Padi 400. Subang (ID) : Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Bulog. 2010. Sekilas CBP (Cadangan Beras Pemerintah) [Internet] <a>http://www.bulog.co.id/sekilascbp_v2.php [13 April 2014]

Jimbalang. 2011.Nama-Nama Rangkiang [Internet] <a>http://www.allaboutminangkabau.com/2011/10/rangkiang.html/ [5 April 2014]

Navis AA. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta (ID) : Grafiti Pers.

Septiawan B. 2008. Analisis Desain Fungsional, Struktural, dan Kondisi Iklim Mikro Pada Lumbung Padi Tradisional (Leuit) Masyarakat Baduy Luar di Provinsi Banten [Skripsi]. Bogor (ID) : Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Syahmusir V. 2004. Pola Permukiman Tradisional Toraja: Studi Kasus Permukiman Tradisional Kaero. Makassar (ID) : Pusat Kajian Indonesia Timur, Universitas Hasanuddin

Apakah Respirasi Mengurangi Produksi Tanaman?



Oleh : Moh. Zulfajrin, Mahasiswa Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Proses respirasi Tanaman dapat mengkonsumsi hampir separuh dari jumlah karbon fotosintesis setiap hari. Meskipun secara umum laju respirasi pada tumbuhan cukup rendah, proses ini cukup berkontribusi dalam proses metabolisme karena terjadi selama 24 jam per hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 30 – 60% hasil fotosintesis tumbuhan herba hilang melalui respirasi. Kira-kira sepertiga dari fotosintat direspirasikan pada pohon muda dan dua kali lipatnya pada pohon yang lebih tua. Hal tersebut dikarenakan oleh menurunnya rasio jaringan fotosintetik dan nonfotosintetik. Bahkan 70 – 80% fotosintat hilang melalui respirasi pada tanaman tropik akibat tingkat laju yang tinggi pada malam hari.
Pada kondisi tertentu, respirasi dapat menggantikan proses fotosintesis yang sedang berlangsung. Peristiwa ini didasari oleh kemampuan enzim kunci reaksi gelap (siklus Calvin) yaitu enzim rubisco. Selain mempunyai kemampuan melakukan katalisis reaksi karboksilasi, Rubisco juga mampu mengkatalisis reaksi oksigenasi dari molekul RUBP (Ribulosa 1,5-bifosfat). Hal ini akan menyebabkan terjadinya fotorespirasi. Fotorespirasi akan menurunkan efisiensi reaksi fotosintesis neto dari 90% menjadi 50%.  Hal ini dapat menyebabkan terganggunya kecepatan suplai fotosintat.
Upaya untuk membangun hubungan kuantitatif antara metabolisme energi dalam proses respirasi dan berbagai proses yang terjadi di dalam sel telah menyebabkan pecahnya respirasi menjadi dua komponen Saat tumbuhan dalam fase muda/sedang tumbuh, karbon tereduksi hasil dari fosintesis dipakai untuk penambahan biomassa baru. Komponen lain yaitu respirasi yang diperlukan untuk menjaga sel-sel dewasa yang ada dalam keadaan baik. Pemanfaatan energi dengan pemeliharaan respirasi belum dipahami dengan baik, tapi perkiraan menunjukkan bahwa hal itu dapat mewakili lebih dari 50% dari total fluks respirasi.
Meskipun banyak pertanyaan tetap mengenai masalah ini, ada beberapa contoh empiris hubungan antara tingkat respirasi tanaman dan hasil panen. Dalam tanaman hijauan, rye  (Lolium perenne), kenaikan yield 10% sampai 20% yang berkorelasi dengan penurunan 20% dalam tingkat respirasi daun (Wilson dan Jones 1982). Korelasi serupa telah ditemukan untuk tanaman lain, termasuk jagung (Zea mays) dan fescue (Festaca arundinacea) (Lambers 1985). Namun, penyelidikan kemudian telah menunjukkan bahwa "seleksi untuk tingkat respirasi daun bukanlah metode yang tepat untuk memilih untuk kultivar unggul pada rye " (Kraus dan Lambers 2001).
Meskipun berpotensi meningkatkan hasil panen melalui pengurangan tingkat pernapasan, pemahaman yang lebih baik tentang situs dan mekanisme yang mengontrol respirasi tanaman diperlukan sebelum perubahan tersebut dapat dimanfaatkan secara komersial dan sistematis oleh ahli fisiologi tanaman, genetika, dan biologi molekuler ( Loomis dan Amthor 1999). Selain itu, mekanisme penerapan umum dari pengamatan dan kondisi tingkat respirasi yang lebih lambat bisa berada menumbulkan kerugian yang menyebabkan penurunan hasil panen merupakan sesuatu yang perlu dikaji lebih dalam lagi.
Penelitian terbaru menunjukkan bagaimana prediksi dampak perubahan diarahkan pada tingkat molekuler pada produktivitas tanaman. Nunes-Nesi et al. (2005b)  menemukan adanya peningkatan produktivitas tanaman tomat transgenik dengan berkurangnya aktivitas mitokondria dehidrogenase malat dibandingkan dengan tipe liar. Meskipun aktivitas respirasi mitokondria yang diisolasi dari tanaman transgenik tidak berubah atau lebih tinggi dari pada tipe liar, tingkat respirasi daun berkurang dalam tanaman transgenik. Fotosintesis meningkat secara nyata pada tanaman transgenik, kemungkinan terkait dengan peningkatan konsentrasi askorbat.
Enzim oksidase alternatif merupakan enzim yang terdapat pada membran dalam mitokondria yang bertanggungjawab terhadap pengambilan oksigen. Mengingat mekanisme alami pembuangan energi dari oksidase alternatif, bisa diharapkan bahwa sel-sel tumbuhan yang kekurangan enzim akan tumbuh lebih cepat daripada jenis liar. Kedua, oksidase alternatif memiliki peran dalam respon tanaman untuk stres oksidatif dan stres abiotik. Hasil percobaan terhadap tanaman tembakau menunjukkan sel-sel transgenik dengan konsentrasi oksidase alternatif yang sangat rendah tumbuh secepat sel tipe liar pada kondisi kekurangan unsur hara dan lebih cepat daripada jenis liar dalam kondisi keterbatasan makronutrien (rendah fosfat atau rendah nitrogen). Hal tersebut menunjukkan bahwa oksidase alternatif merupakan faktor penting pada modulasi tingkat pertumbuhan dalam merespon tingkat ketersediaan hara. Meskipun begitu, peran enzim ini tidak dapat diabaikan karena memungkinkan mitokondria mengatur laju relatif produksi ATP dan sistesis kerangka karbon serta mencegah over-reduksi yang dapat merusak organel-organel respirasi.
Respirasi pada tanaman melibatkan jaringan interaksi metabolisme yang rumit, pengaturan ekspresi gen yang kompleks dan berbagai aktivitas enzimatik. Juga ketika melihat metabolisme karbon secara keseluruhan termasuk metabolisme fotosintesis dan heterotrofik, upaya bioteknologi meningkatkan hasil telah membuat relatif sedikit kemajuan. Hal ini sebagian merupakan konsekuensi dari kompleksitas, dan gangguan yang menyebabkan efek samping tak terduga. Namun, efek dari perubahan genetik metabolisme karbon sekarang dapat diikuti secara rinci dengan menggunakan pendekatan keseluruhan secara umum, dan meningkatnya detail dalam analisis bantu modifikasi khusus metabolisme karbon untuk meningkatkan produksi.


Daftar Pustaka
Anonim.2013.Fisiologi Tumbuhan Dasar.Bogor(ID):Bagian Fisiologi dan Genetika Tumbuhan Departemen Biologi Fakultas Matematika dan IPA Institut Pertanian Bogor
Campbel NA, Reece JB.2009.Biology 9th Edition.San Fransisco(USA):Pearson Education inc.
Wilkins, M.B. 1991. Fisiologi Tanaman I.Jakarta  (ID): PT Bina Aksara Jakarta

Sempilan Sebelum Tidur: Beberapa Hambatan Pertanian Monokultur Jagung

Oleh : Moh. Zulfajrin, Mahasiswa Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
          Pertumbuhan dan perkembangan tanaman merupakan suatu proses yang rumit serta dipengaruhi oleh banyak faktor seperti intensitas cahaya, air, kandungan CO2 udara, aparatus fotosintesis (kloroplas, klorofil) dan unsur hara. Keseluruhan faktor-faktor diatas bervariasi pada letak/lokasi yang spesifik,jenis, varietas bahkan individu yang berbeda sehingga didapatkan hasil perimbangan antara respirasi dengan fotosintesis yang berbeda dimana hal tersebut berujung pada produksi yang bervariasi. Faktor internal seperti aparatus fotosintesis yang keadaannya dipengaruhi oleh genetik tanaman dan faktor eksternal seperti kandungan unsur hara sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman
         Pertanian Modern sekarang ini masih menganut sistem monokultur, pemupukan dan pengendalian hama secara intensif untuk menghasilkan produksi maksimum. Memang hal tersebut tidak dapat disangkal karena hampir seluruh ekspor produk-produk pertanian sekarang mengandalkan ketiga hal diatas agar tetap bertahan dalam produksinya. oleh karena itu, perlu pengetahuan yang cukup mengenai banyak  aspek yang saling menunjang didalam kegiatan pertanian itu sendiri agar tidak terjadi kegagalan panen akibat kurang cerdiknya petani mengantisipasi berbagai hambatan dan tantangan serta kurang cekatan dalam menganalisis berbagai peluang positif yang mungkin timbul sesuai teknik bertani yang digunakan.
         Beberapa masalah yang mungkin akan timbul dalam kegiatan pertanian monokultur.
1. Efek Pinggir yang terpinggirkan
        Tanaman jagung yang berada pada pinggiran petak biasanya mendapatkan efek yang dinamakan “efek pinggir”,  Sejatinya, tanaman pinggir ini akan tumbuh lebih baik karena kurangnya saingan dengan tanaman tetangganya sehingga  dapat berproduksi lebih maksimal dibanding tanaman yang berada di tengah petak meskipun diberikan asupan pupuk yang kurang lebih sama. Akan tetapi pada beberapa kasus, malah tanaman pinggir yang mempunyai masalah dengan pertumbuhan dan perkembangannya. Masalah ini ini kemungkinan bukan disebabkan oleh kurangnya pemberian pupuk, melainkan kurang tersedianya pasokan air karena jauh dari spingkle (penyemprot air), sehingga tanaman jagung tersebut hanya mengandalkan penyediaan air dari air hujan. Hal ini membuktikan bahwa selain membutuhkan asupan pupuk yang cukup, tanaman jagung juga membutuhkan ketersediaan air yang memadai disaat-saat awal pertumbuhannya agar dapat memberikan produksi yang maksimal.
         Gejala kekurangan unsur hara juga ditemukan pada beberapa tanaman pinggir yang juga mengalami kekerdilan dimana tanaman muda memiliki daun yang berwarna ungu dibagian pinggirnya. Hal ini mengindikasikan tanaman tersebut kekurangan unsur fosfor meskipun asupan fosfor telah diberikan melalui pupuk SP-36. Kemungkinan hal tersebut disebabkan oleh kurangnya kandungan air pada tanah sehingga larutan tanah yang menyediakan ion fosfat kepada tanaman kurang tersedia.  Kemungkinan lain adalah kondisi tanah yang masam, membuat kelarutan ion-ion logam seperti aluminium dan besi menjadi tinggi yang membuat kompleks dengan ion fosfat (Al-P dan Fe-P). Hal ini mengakibatkan ion-ion fosfat terpresipitasi (terendapkan) dan menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Itulah sebabnya mengapa sering terjadi keadaan dimana tumbuhan kekurangan fosfor meskipun uji laboratorium menunjukkan kadar fosfor total pada tanah tinggi
Kekurangan fosfor juga memberikan efek samping yang buruk bagi tanaman karena sesuai dengan prinsip Gaia (prinsip toleransi/hukum minimum) yang menyatakan bahwa penyerapan unsur hara ditentukan oleh kandungan salah satu unsur yang paling minimum. Pada kasus ini unsur fosfor membuat penyerapan unsur hara lain menjadi tidak optimal, sehingga menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman menjadi terhambat. Kekurangan fosfor juga memicu munculnya spesies cendawan patogen yang menyerang tanaman jagung seperti jenis Giberella zeae yang menyebabkan penyakit  “Stalk root  serta jenis Giberella saubinettii yang menyebabkan penyakit “root rot”. (Danoff et.all 2007)
2. Masa Panen “tidak Match” dengan Musim
         Percobaan gabungan yang dilakukan oleh mahasiswa Jurusan Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan serta mahasiswa Jurusan Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor membuktikan bahwa meskipun telah dilakukan pemberian insektisida furadan dan penyemprotan, serangan hama tetap terjadi hampir pada seluruh petak percobaan. Ulat yang menyerang batang dan buah jagung membuat sebagian tanaman jagung mengalami kegagalan produksi dan buah yang tak layak konsumsi. Belalang dan walang sangit yang memakan daun jagung terutama daun tanaman muda membuat sebagian tanaman tidak bisa bertahan meskipun berada pada lokasi yang paling subur sekalipun. Meningkatnya serangan hama ulat kemungkinan disebabkan oleh keadaan cuaca yang sering hujan pada saat-saat menjelang panen. Oleh karena itu, kegiatan penanaman monokultur yang saling berdekatan menjadi ditambah dengan musim yang sesuai menjadi pemicu meluasnya serangan ulat dan hama-hama lainnya secara besar-besaran.