Rabu, 16 Agustus 2017

Interkoneksi Transmisi Listrik Sulawesi, Kapankah?

Interkoneksi transmisi listrik Pulau Sulawesi menurut RUPTL PLN 2017
Garis putus-putus​: rencana
Garis sambung: eksisting


Baru tahu mengapa target presiden kita menggandeng investor lokal, BUMD, dan asing untuk bangun pembangkit listrik karena sudah 72 tahun transmisi sulawesi masih dalam tahapan "rencana" dan "rencana" lagi.

Indonesia sangat luas, "tidak  datar" dan dipisahkan oleh lautan. Sulawesi lebih parah lagi. Bentuknya menurut ahli geologi "Spider-like Shape" dan rintangan pegunungan yang memisahkan pesisir disisi yang satu dengan sisi yang lain. Tentunya kenyataan ini membuat cost produksi dan pemeliharaan jaringan kelistrikan yang sangat tinggi bagi PLN. Bayangkan saja, biaya pembangunan jaringan transmisi Palembang ke Riau (sekitar 700 km) sebesar 10 triliun. Sedangkan jarak rencana interkoneksi Mamuju-Palu-Gorontalo sekitar 1.000 km. Itu baru mau menyambung Sulawesi Barat, Tengah, dan Gorontalo. Tapi sedihnya, menurut informasi RUPTL PLN 2016-2025, penambahan jaringan transmisi di sulawesi hanya 300 - 400 km per tahun sejak 2010. Belum lagi rencana untuk pulau-pulau lain seperti Kalimantan, Maluku, dan Papua. Ditambah lagi ambisi PLN membangun pembangkit 15.000 MW sampai tahun 2020 yang per satu unitnya bisa sampai 19,5 miliar. 
So, jika PLN terus memaksa membangun jaringan transmisi kelistrikan plus pembangkitnya ditengah terbatasnya APBN dan kondisi kita yang terus menghutang, mau sampai kapan masyarakat Sulawesi, Kalimantan, ataupun Papua bisa punya interkoneksi transmisi listrik antar provinsi, dimana kelebihan listrik dari provinsi yang satu bisa disumbangkan ke provinsi yang lain?

Saran saya, PLN fokus membangun transmisi dulu, berikan kesempatan dan porsi yang lebih besar kepada BUMD ataupun pivate sector untuk membantu kerjanya membangun pembangkit listrik. Masalah ketakutan PLN menjadi tukang jualan listrik seperti PLN Filipina bisa diakali dengan kebijakan divestasi saham ataupun perjanjian/kontrak dengan pemilik investasi yang tidak merugikan negara di masa depan. PLN juga sudah makan asam garam menghadapi kelakuan IPP (Independent Power Producer) sejak jaman Presiden Gus Dur dibawah Panglima Menko Ekuin Rizal Ramli, Si Raja Kepret. 

Jika listrik tersedia melimpah dengan interkoneksi transmisi yang memadai, masyarakat akan sangat terbantu. Investor akan tertarik membangun pabrik-pabrik dan pusat-pusat industri. Keuntungan konsumsi listrik akan menjadi pendapatan daerah yang bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur baru di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan. Tumbuhnya ekonomi daerah akan membantu pemimpin kita, siapapun orangnya untuk memeratakan dan mendistribusikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat di wilayah Indonesia.

Salam Dingin dan Adem dari Kota Hujan

Teruntuk Kamu: Banggai Tanah Kelahiranku



Kita tidak menyalahkan dan menghambat investasi yang masuk
Kritisi dengan bijak jika mereka melanggar
Pemerintah daerah justru menunggu kita, karena kita tidak mencoba memulai, ya terpaksa diserahkan kepada orang lain,
Berusaha untuk ikut berpartisipasi
Banyak pemuda daerah hanya menjadi penonton di daerah sendiri
Sudah saatnya pemuda pribumi lokal bangkit menjadi investor di tanah milik sendiri
Tapi, apakah semudah itu?
Ini bisa jadi contoh:
Jika dulu ada dulu anak asli kab Banggai yang jadi ahli geologi yang duluan menemukan cadangan gas di Banggai dan berani mengambil resiko investasi gas di kampungnya, kemungkinan besar komisaris dan direktur dipegang orang Banggai sendiri,
Sekarang kita tinggal menilai diri, siapakah saja yang berkompetensi dan punya kapasitas untuk itu?
Dan terlebih lagi pertanyaan utama: sudah punya kompetensi dan kapasitas, apakah berani dan mau ?
Ya jika tidak ada, sekaranglah waktunya generasi muda Banggai sekolah, belajar, dan cari ilmu setinggi-tingginya, cari pengalaman sebanyak-banyaknya,
Dan jika sekarang orang2 itu ada, terlebih lagi bersama dengan kita,
ayo saling bantu bangun Banggai, dobrak pintu zona nyaman, buang sekat pembatas antar golongan, suku, kecamatan, atau bahkan agama

Dan mungkin kita juga harus berfikir panjang,
Gas LNG Banggai akan menipis 20 tahun lagi, jika objek vital nasional tersebut berhenti, Banggai yang ramai akan jadi kota mati? Apakah nasibnya akan semuram nasib kota timah?
Sektor apa yang akan bertahan? Pertanian? Maritim? Perkebunan? Industri makanan? Industri energi lain? Elektronik?
Teringat kata-kata mentorku: Luwuk itu sepi, jangan kamu jadikan luwuk sebagai tempat tinggal, tapi jadikan ia sebagai pusat investasi
bangun dan dorong ekonominya
Kalu misa uka ipianje mule, kalu misa kita iheje mule (N. Ali)

Salam Dingin dan Adem dari Kota Hujan

Selasa, 15 Agustus 2017

Ketika Aktivis Membantah Menteri dengan Modal Kajian SMA



Setelah melihat beberapa postingan teman yang menyindir pemerintahan jokowi saat ini mengenai masalah impor garam, rasanya saya ingin berkomentar. Bukannya membela, tetapi lebih ke penyadaran dan penyeimbangan arus informasi. Karena, banyak orang, terutama teman-teman saya mengkritik kebijakan impor garam tersebut dengan modal kajian yang terlalu minim. Akibat ilmu dan logika yang kurang berkembang, mungkin karena malas membaca dan mengkaji, mereka justru menjadi korban hoax ilmiah yang dijalankan oleh gerombolan oknum-oknum kontra pemerintah. Mereka terlalu menggampangkan alur produksi garam serta tidak mengklarifikasi bagaimana proses pengambilan keputusan para pakar ilmu dan birokrat di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ditambah lagi dengan provokasi "kelas anak SMA" dari Mr. Oke Oce, Wakil Gubernur terpilih DKI Jakarta. 

Di media sosial, banyak beredar meme kritikan kepada kebijakan impor garam pemerintah yang di share oleh teman-teman aktivis. Seperti gambar di atas, memang kelihatannya mudah dan masuk logika. Air laut mengandung garam dan kemudian dijemur dibawah sinar matahari. Sejauh ini benar, menurut logika anak SMA. Tetapi, kesalahan fatal para aktivis menshare meme ini adalah menerapkan logika dasar SMA ini pada kebijakan pemerintah yang berlaku sangat luas. Seharusnya mereka melanjutkan logika berpikinya sampai setara universitas, setidaknya dengan bertanya seperti ini: apakah kondisi air laut di setiap pesisir Indonesia sama? Apakah ada perbedaan salinitas air laut saat musim hujan dan musim kemarau? Seberapa besar batas salinitas air laut untuk menghasilkan produksi garam yang sesuai secara ekonomi? kalau pantainya rawa-rawa apakah bisa? Seberapa besar luasan tambak dan produksi yang dihasilkan untuk mencapai skala ekonomi? kok di Jawa yang sudah lumayan canggih dan maju saja, tidak semua pantai bisa mempunyai tambak garam? Di daerah Madura, tempatnya para petambak garam pun hanya sebagian kecil pantainya yang jadi tambak garam. Di Eropa, wilayah dengan pengembangan teknologi yang memadai, banyak negara yang justru menambang garam di daratan, sampai produksinya mengalahkan negara-negara yang punya garis pantai lebih panjang. Kok bisa? Belum lagi masalah aksesibilitas, transportasi dan rancangan rantai distribusi. 

Sungguh banyak pertanyaan yang bisa diajukan sebelum mengkritik pemerintah kita dan mengajukan solusi yang bisa diterapkan di masyarakat. Dan dengan kondisi para aktivis daerah yang seperti ini, saya sebagai anak bangsa sungguh merasa kasihan. Mereka membagikan meme-meme "Hoax Ilmiah" ini tanpa tahu akibat besarnya yang merusak logika dan memprovokasi masyarakat awam untuk tidak mempercayai kebijakan pemerintah. 

Awal tahun ini, saya bertemu dengan Direktur Jasa Kelautan KKP, Direktorat yang membidangi masalah "Pergaraman" Indonesia. Beliau telah mengisyaratkan kekurangan garam tahun ini, dan dengan tangan terbuka meminta bantuan pemda untuk mendata lokasi-lokasi yang cocok sebagai lokasi tambak dan pabrik garam. Masalah modal? tenang saja nanti bisa kerjasama dengan pabrik garam berkapasitas besar di Nusa Tenggara.

Apa artinya ini?
Pemerintah berkomitmen untuk menambah pasokan garam nasional untuk perencanaan jangka panjang, tetapi karena kebutuhan saat ini yang sangat mendesak, maka impor garam menjadi keniscayaan sebagai kebijakan instan jangka pendek.

Kita tidak hanya mau membuat satu atau dua karung garam, tetapi pabrik beserta tambak dengan kapasitas ribuan ton, selain untuk mencapai kesesuaian secara ekonomi, juga signifikan untuk menalangi kebutuhan nasional. Itu untuk jangka panjang. Akan tetapi, kondisi saat ini garam sedang sulit. Stok garam nasional untuk 250 juta masyarakat Indonesia plus industri tidak mencukupi. Tidak bisa menunggu panen petambak garam tahun ini karena musim hujan yang tidak menentu. Oleh karena itu, perlu solusi instan, sambil meningkatkan pembangunan infrastuktur garam. Pilihannya yang paling mungkin dan ekonomis dari sudut pandang pemerintah, ya impor garam dulu. Tinggal diperketat pengawasannya, jangan sampai garam impor yang murah itu ditimbun pedagang nakal dan dirembeskan penjualannya ke tingkat petani. Itu urusannya Bu Susi dan Disperindag. Di Tenggelamin saja, Gitu aja Kok Repot. Kata Almarhum Gus Dur. 

Jadi, mohon bagi para aktivis yang terlalu lebay dengan memposting foto rumus penguapan air laut atau menghubungkan panjang garis pantai dengan produksi garam untuk mempertanyakan kebijakan pemerintah, tolong di cek lagi ya ke Kementerian, jgn asal tuduh pemerintah dengan kajian kimia dan geografi jaman SMA, mungkin harus lanjut lagi ke IPB ambil jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan atau Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Atau lanjut S2 ke jurusan Ilmu Pencanaan biar mudeng ga sumbu pendek jadinya. 

Salam Dingin dan Adem dari Kota Hujan

Macet: Mengapa Tidak Belajar dari Negara Lain?



Just Renungan:
Satu hal yang baru sekarang saya pikirkan.
Dulu Bulan November 2016 saya alhamdulillah bisa ke Malaysia dan Taiwan, hampir tidak terjadi kemacetan yang panjang seperti Jakarta dan Bogor. Waktu mau balik dari pusat kota Taipei ke Bandara butuh waktu lama karena jaraknya yang lumayan jauh. Kami berangkat sore menjelang magrib, sedangkan kira-kira jam 9 malam chek in dibuka. Sempat ragu-ragu bagaimana kalau macet. Bisa-bisa kami ketinggalan pesawat. Tetapi alhamdulillah, kami sampai kira-kira sejam sebelum check in. Bisa kita bayangkan kalau ada rapat di Bogor jam 8 malam, dan kita berangkat dari Jakpus magrib. Tentunya bisa terlambat rapat. 

Setelah mengingat-ingat dan berlogika, kemungkinan mengapa kota sebesar Taipei dan Malaysia bisa jarang macet karena transportasi publik mereka didominasi LRT, MRT, dan monorail bukan hanya angkot, bus, dan taksi. 
Jadi berpikir keras, apakah dulu sewaktu pemerintah negara Malaysia dan Taiwan berinisiatif membuat LRT, MRT, dan monorail, apakah saat itu rakyatnya membutuhkan ya?Saya pikir tidak, pemerintah kota Kualalumpur dan Taipei waktu itu sudah punya jalan yang bagus untuk kenyamanan masyarakatnya. 
Terus buat apa bikin LRT, MRT, dan Monorel yang akan menghabiskan/membuang-buang uang negara?

Baru mengerti, pemerintah berkomitmen membangun meski saat rakyat belum butuh. Saat rakyat Indonesia masih terjajah hanya butuh jalan setapak karena masih jalan kaki (bahkan ada yang masih pakai jurus terbang), penjajah Belanda sudah buat jalan raya yang sekarang menjadi tulang punggung distribusi dan pengembangan ekonomi kawasan. Jika kita memperhatikan data progress pembangunan jalan oleh pemerintah nasional, pasti kita terkejut karena indonesia sangat lambat dalam pembangunan infrastruktur jalan. Bahkan mungkin beberapa kabupaten di Indonesia hanya mampu "menambal" tidak menambah.

Baru mengerti, mengapa wilayah Jabodetabek selalu macet, karena dulu hanya membangun jalan. Dengan alasan belum dibutuhkan, pemerintah mengesampingkan pembuatan MRT, LRT, dan Monorel saat Malaysia dan Taiwan sudah berkomitmen membangunnya. Saat ini pemerintah baru berusaha membangun saat sudah sangat mendesak, dan macet menjadi penyakit yang kronis dan akut bagi warga ibukota. Saat negara baru menyadari bahwa kita membuang-buang triliunan rupiah bensin dan efisiensi kerja hanya karena kendaraan terjebak macet parah. 

jika Jakarta saja seperti ini, akankah kota-kota besar Indonesia lainnya akan bernasib sama?

Salam Dingin dan Adem dari Kota Hujan