Tulisan ini saya buat sebagai lanjutan dari tulisan sebelumnya yang berusaha membandingkan Pemprov DKI Jakarta dengan Taipei. Terima kasih saya sampaikan kepada akun-akun MCA (Muslim Cyber Army) instagram, tempat menemukan inspirasi untuk mengkritik tulisan saya sendiri. Melalui pembelaan mereka yang menyajikan foto-foto street market, saya jadi berusaha mencari info lebih lanjut mengenai konsep penataan ruang yang melibatkan PKL sebagai salah satu mitra pemerintah.
Jika kita pernah ke Taipei, Hongkong, dan berbagai kota besar lainnya di dunia, pasti kita pernah mendengar istilah "Night Market" ataupun "Street Market". Tentunya para traveller (wabil khusus pemburu kuliner) sangat peka dengan salah satu obyek wisata ini. Street market menyediakan berbagai jenis komoditas yang layak untuk menjadi oleh-oleh seperti pakaian, furnitur, ukiran-ukiran, ataupun makanan yang bisa disantap untuk memuaskan lidah para traveller. Dan yang uniknya, sebagian besar lapaknya berada di ruang terbuka tempat orang berlalu-lalang alias di jalan.
Salah satu contoh yang dapat saya sajikan adalah pengelolaan "Lotus Market", salah satu street market yang berada di kota tua Beijing, China. Lotus market adalah warisan sejarah sejak era Dinasti Qing. Pemerintah membuka kawasan ini sebagai ruang publik dengan konsep "Modern Traditional Pedestrian Street". Tujuan utama sebagai prasarana transportasi bagi pejalan kaki di ruang publik. Lokasi ini cocok sebagai kawasan wisata dan ruang terbuka hijau karena menghadap danau Qianhai yang mempunyai banyak tanaman lotus (teratai). Pemerintah kemudian mengatur dan menata lapak-lapak PKL dan kios-kios di wilayah ini secara detail agar tidak hanya menguntungkan pedagang kecil, tetapi juga tidak menghambat mobilitas masyarakat yang berlalu-lalang. Faktor lain adalah jarak yang dekat dengan Imperial City (cari sendiri di google ya). Dari segi regulasi, pemerintah menerapkan aturan yang ketat mengenai proteksi wilayah tersebut agar tetap natural, jauh dari alih fungsi lahan. Sehingga, semangat tradisionalnya tetap terjaga yang terimplementasikan oleh arsitektur bangunan, komoditas jajanan, penataan kebun, dan lain-lain. Namun, masyarakat tetap diberi kesempatan untuk menyuarakan pendapat karena tuntutan perkembangan jaman yang terus berubah dan kondisi bangunan yang menua. Poin lain yang saya garisbawahi adalah persetujuan masyarakat dengan konsep "menjaga alam" yang ditawarkan pemerintah. Hal ini bisa terjadi mungkin karena keuntungan yang didapatkan pedagang dirasakan memadai, ataupun sikap pemerintah China yang sedikit represif terhadap masyarakatnya.
Gambaran Penataan Lotus Street Market di Beijing, China
Sekarang kita kembali ke "Tanah Abang Street Market" yang sedang diujicobakan oleh Pemprov DKI Jakarta. Kawasan Tanah Abang awalnya merupakan perkampungan dengan kebun-kebun milik orang betawi yang kemudian dialihfungsikan menjadi kawasan perumahan, perkantoran dan perdagangan. Sedangkan Pasar Tanah Abang merupakan warisan sejarah jaman belanda karena didirikan oleh Yustinus Vinck pada tahun 1735. Kawasan ini menurut regulasi terbaru dari Dinas Tata Ruang DKI Jakarta masuk kedalam zona perkantoran, perdagangan, dan jasa. Sekarang kita mencermati, apa fungsi jalan pada kawasan dengan tipe zonasi tersebut. Tentunya fungsi jalan disini sebagai elemen penting yang menjamin konektivitas dan mobilitas orang dan barang di kawasan itu. Penerapan regulasi terkait PKL juga berubah-ubah. Jaman Sutiyoso - Fauzi Bowo PKL ditertibkan, era Jokowi hingga Djarot PKL direlokasi ke Blok G pasar Tanah Abang, sedangkan Gubernur Anis PKL difasilitasi di jalan (sementara) mungkin dengan mengadopsi konsep street market. Setelah membaca berita dari mana-mana, respon masyarakat terbelah. RT/RW tidak setuju karena menutup jalan masuk kampung, pedagang didalam pasar tidak setuju karena mengurangi pendapatan di dalam kios, mengganggu bongkar muat barang, pebisnis lainnya, pejalan kaki, dan tukang angkot juga tidak setuju mengganggu rute/jalur, menghambat arus lalu-lintas, dan mengurangi pendapatan. Sementara itu, PKL tentunya sangat setuju karena kios/lapaknya difasilitasi oleh pemerintah tanpa harus kucing-kucingan lagi dengan Satpol PP saat penertiban.
Kawasan Pasar Tanah Abang memang merupakan jejak sejarah era kolonial yang perlu kita jaga, selain karena posisinya yang sangat sentral dalam perputaran ekonomi Jakarta dan nasional. Perbaikan dari segi fasilitasnya sangat diperlukan untuk menjamin kenyamanan penjual dan pembeli yang melakukan transaksi. Kita tidak memungkiri bahwa Pemprov DKI tidak ingin menganaktirikan PKL sebagai salah satu elemen masyarakat yang harus difasilitasi dalam berusaha. Namun, pemerintah juga harus hati-hati dalam mengeluarkan kebijakan, terlebih lagi menggunakan fasilitas umum untuk mengakomodir kebutuhan salah satu golongan. Pemprov mempunyai niat baik untuk memfasilitasi PKL berjualan di Jalan Jatibaru, namun kebijakan yang diambil justru bertentangan dengan semangat memajukan dan menyejahterakan sebagian besar pedagang yang sudah patuh regulasi di dalam blok-blok pasar serta para pebisnis yang berkantor di kawasan tersebut. Jalan di Kawasan Pasar Tanah Abang sangat vital untuk kegiatan bongkar muat barang dan mobilitas orang. Pemerintah Kota Beijing sangat ramah terhadap para pejalan kaki, sehingga menerapkan aturan ketat jarak lapak dengan trotoar. Bagaimana bisa di Pasar Tanah Abang oknum preman dan Satpol PP menjual trotoar untuk dijadikan lapak PKL. Pemprov seharusnya mempertahankan bahkan menambah luasan jalan agar perputaran ekonomi menjadi lebih cepat dan efisien. Solusi lain yang menguntungkan semua pihak sangat diperlukan mengingat kawasan ini adalah salah satu pusat perdagangan terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.
Penataan "Tanah Abang Street Market" Jakarta
Sumber: http://awasnews.com/
Seperti postingan sebelumnya, saya menganggap penggunaan teras seperti "Teras Cihampelas" ala-ala Kota Bandung masih menjadi pilihan terbaik dibandingkan dengan "Tanah Abang Street Market" bagi penyelesaian masalah PKL Pasar Tanah Abang. Solusi ini tentunya dapat diterima bagi pejalan kaki karena menjadi rute alternatif tanpa perlu berdesak-desakan dengan lapak PKL. Masyarakat di kampung sekitar juga tidak terganggu karena PKL yang selama ini menjadi sumber kemacetan telah direlokasi. Kegiatan bongkar muat serta arus barang dan jasa akan menjadi efisien. Bukan tidak mungkin, kesejahteraan masyarakat akan bertambah karena kerugian waktu akibat macet menjadi terpangkas. Bahkan menurut saya, berkaca dari "Lotus Street Market", pengembangan "Teras Tanah Abang" akan membuka peluang wisata baru DKI di kawasan Tanah Abang dengan menggandeng PKL sebagai mitra. Alhasil, gubernur bisa memenuhi janji politik "keberpihakannya" ke semua golongan masyarakat tanpa kontroversi berlebihan.
Desain Teras Cihampelas, Bandung
Salam Dingin dan Adem dari Kota Hujan
Moh Zulfajrin
Bahan Bacaan:
Bo, W., & Wenyi, Z. (2015). Preliminary Study of Urban Design Operation and the Regulation of Public Street in Lotus Market, Beijing, China. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 184 (August 2014), 338–344. http://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.05.099
Tidak ada komentar:
Posting Komentar