Jakarta memang merupakan kota yang kompleks dengan segala tetek bengek yang memusingkan. Tidak hanya bagi kaum pekerja yang siang malam memikirkan bagaimana keberlanjutan hidup besok pagi, tetapi juga bagi para administrator kota yang notabene adalah pelayan masyarakat. Berbagai kepentingan berbenturan dalam perencanaan kota, sehingga tidak mungkin bisa mengakomodir setiap keinginan ormas, kelompok, ataupun individual masyarakat. Perlu orang-orang yang tegas, kreatif, dan berpengalaman agar solusi kebijakan pemerintah dapat memajukan kota sekaligus menguntungkan masyarakat banyak serta meminimalisir rasa ketidakadilan.
Salah satu contoh yang paling hits jaman now adalah kontroversi pengelolaan kawasan Tanah Abang. Kawasan ini merupakan pusat penjualan pakaian dan tekstil terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Masalah utama Kawasan Tanah Abang adalah menjamurnya pedagang kaki lima (PKL) yang ingin berjualan di trotoar dan badan jalan. Fenomena seperti pasar tumpah ini berakibat pada kemacetan yang parah dan terganggunya pejalan kaki yang lewat. Penertiban kawasan ini sudah dilakukan dari jaman Gubernur Sutiyoso, Joko Widodo hingga Gubernur Kontroversial "Ahok" Basuki T. Purnama.
Hal yang menarik dari kisah penataan kawasan ini adalah bagaimana cara Gubernur Anis Baswedan mengakomodir para PKL dengan fasilitas berupa tenda-tenda khusus yang berada di badan jalan. Bagaimana bisa pemerintah yang mempunyai banyak staf ahli perencanaan dan pengembangan wilayah mengeluarkan kebijakan seperti ini. Saya mengerti gubernur ingin keadilan bagi rakyat kecil (dalam hal ini: PKL) agar mempunyai lapak berjualan yang diatur oleh pemerintah. Akan tetapi kebijakan ini menurut saya kurang tepat, karena fasilitas yang diberikan pemda kepada PKL berada di lokasi yang bukan peruntukkannya. Pemerintah membangun jalan sekaligus trotoarnya dengan biaya yang besar sampai bermilyar-milyar, bukan untuk kegiatan jual beli, melainkan sebagai prasarana yang memudahkan transportasi masyarakat. Jalan yang memadai meningkatkatkan mobilitas orang dan barang, sehingga perputaran ekonomi di kawasan dan pengembangan wilayah bisa menjadi lebih cepat.
Tindakan pemprov DKI memfasilitasi PKL yang berjualan di badan jalan bukan hanya melanggar hukum (UU 38 2004/ PP 34 2006) dan menyalahi peruntukkan penggunaannya, melainkan juga menghambat pergerakan orang dan barang di wilayah tersebut. Contohnya adalah terhambatnya proses bongkar-muat barang, terancamnya bisnis ekspedisi lintas provinsi dan negara yang berlokasi di kawasan tersebut, persaingan tidak sehat antara PKL dengan penjual di kios-kios resmi, terganggunya akses pejalan kaki, dan terputusnya akses jalan ke kampung di sekitar Tanah Abang.
Seharusnya Gubernur Anis Baswedan dapat menangkap berbagai inovasi perencanaan dan tatakota yang dapat mengakomodir PKL tanpa menabrak peraturan perundang-undangan. Mungkin Pemprov DKI Jakarta belum bisa seperti Pemprov Taipei, salah satu kota yang sempat saya kunjungi beberapa waktu yang lalu. Saya melihat para pedagang diberikan lapak dalam stasiun, terminal, dan koridor-koridor bawah tanah tempat sebagian besar masyarakat berlalu-lalang.
Namun, minimal kita bisa melihat keberhasilan Kang Emil selaku Walikota Bandung mengawal pembangunan "Teras Cihampelas" sebagai ikon wisata sekaligus memfasilitasi PKL yang sebelummya berjualan di trotoar dan badan jalan. Jakarta tidak perlu malu mencontoh Bandung dengan membuat semacam "Teras Tanah Abang", "Teras Jatibaru" atau apapun itu. Bahkan, pemprov dapat merekayasa pejalan kaki agar lewat di "teras" tersebut sehingga menguntungkan para PKL yang berjualan pada lapak-lapak/tenda yang sudah disediakan dan diatur. Pemprov juga tidak perlu takut dengan masalah pembebasan lahan, karena yang kemungkinan akan menjadi masalah adalah jaringan listrik, internet, dan pipa air minum yang terdampak galian konstruksi teras. Hal ini bisa dikoordinasikan antar sesama dinas/suku di lingkungan Pemprov DKI. Tidak perlu perdebatan panjang dan alot mengenai ganti rugi tanah dengan masyarakat. Pendapatan pemprov juga meningkat dan terukur dibanding memelihara PKL yang hanya menguntungkan preman setempat serta oknum satpol PP.
Teras Cihampelas
Saat saya ke Teras Cihampelas, saya menangkap sedikit aroma kesunyian dari lapak-lapak PKL yang ada disana. Mungkin saat itu, waktu kunjungan saya tidak bertepatan dengan weekend ataupun libur nasional. Tetapi melihat kemacetan parah dan geliat ekonomi harian yang berputar kencang di trotoar dan pinggir-pinggir jalan Jatibaru, tentunya "Teras Tanah Abang" (khayalan saya) akan sangat jauh mengungguli Teras Cihampelas dari segi manapun. Jauh lebih ngena kan keberpihakannya???
Salam Dingin dan Adem dari Kota Hujan
Moh Zulfajrin
Mantap bosqu <3
BalasHapus