Jumat, 05 Januari 2018

Saran untuk para pendukung FE

Berbagai Model Proyeksi


Model bumi datar yang ditawarkan oleh para flatearther ini sudah lama dibicarakan oleh para ahli kartografi dunia, Berangkat dari pemahaman bahwa bumi ini berbentuk geoid (searching aja sendiri di google), para ahli berusaha mencari model yang dapat menampilkan permukaan bumi sebaik mungkin pada media datar. Model yang dapat mengakomodasi keakuratan luas, jarak, maupun sudut dari kenyataan yang sebenarnya dilapangan.

Mengapa harus ke bidang datar? 

Nah aku tanya, kalo mau survei di hutan n naik gunung, enakan mana bawa globe atau kertas yang berisi peta? Mending saya bawa peta deh supaya bisa dilipat dan digulung-gulung masukin ke tas atau kantong celana, daripada bawa globe sebegitu besar, padahal yang saya survei cuma lahan 10 hektar.

Nah balik lagi ke bumi datar. Sebenarnya model Fe ini menurut orang geografi namanya proyeksi azimuthal. Gampangnya, proyeksi itu adalah cara kita menampilkan permukaan bumi tidak tidak karu-karuan (ada gunung, lembah, tebing) kedalam bidang datar. Proyeksi azimuthal ini sangat baik dalam menggambarkan area di permukaan bumi terutama pada area disekitar titik pusat proyeksi. Distorsi pada luasan area semakin besar kalau semakin jauh dari titk pusatnya (semakin ke pinggir, semakin tidak mencerminkan luasan sebenarnya). Ukuran jarak juga benar kalau melewati titik pusat proyeksi. Gampangnya, kalau kita mau menggambarkan area permukaan bumi pada bidang datar dengan distorsi yang sedikit, pakailah proyeksi ini dengan titik pusat di area of interest kita. Tapi ingat, kita harus ngerti rumus hitungan-hitungannya (yang pasti sangat ngejlimet) supaya luasan dan jarak yang kita dapatkan benar.

Namun, ternyata masih banyak varian-varian proyeksi peta yang lain. Ada proyeksi silinder dan bahkan ada pula proyeksi kerucut (conical). Nah loh? kok ada ya? Kirain hanya lingkaran bumi datar... 
Ya iyalah, wong proyeksi standar nasional kita itu masuk proyeksi silinder,, Mau apa lo? wkwkwkw


Sudah itu masuk sana di jurusan geografi, geodesi, atau geoinfomatika supaya ngelothok ilmunya..
Kalau mau yang gampang,, ya masuk ilmu tanah aja, ntar tak ajari kamu privat deh,,,



Salam Dingin dan Adem dari Kota Hujan
Moh Zulfajrin

Bahan Bacaan:
Robinson, A. H. (2017). Choosing a World Map. Attributes, Distortions, Classes, Aspects. In M. Lapaine & E. L. Usery (Eds.), Choosing a Map Projection (1st ed., pp. 15–48). Springer International Publishing.


Senin, 01 Januari 2018

Tanah Abang: Jakarta Street Market Jaman Now

Tulisan ini saya buat sebagai lanjutan dari tulisan sebelumnya yang berusaha membandingkan Pemprov DKI Jakarta dengan Taipei. Terima kasih saya sampaikan kepada akun-akun MCA (Muslim Cyber Army) instagram, tempat menemukan inspirasi untuk mengkritik tulisan saya sendiri. Melalui pembelaan mereka yang menyajikan foto-foto street market, saya jadi berusaha mencari info lebih lanjut mengenai konsep penataan ruang yang melibatkan PKL sebagai salah satu mitra pemerintah. 

Jika kita pernah ke Taipei, Hongkong, dan berbagai kota besar lainnya di dunia, pasti kita pernah mendengar istilah "Night Market" ataupun "Street Market". Tentunya para traveller (wabil khusus pemburu kuliner) sangat peka dengan salah satu obyek wisata ini. Street market menyediakan berbagai jenis komoditas yang layak untuk menjadi oleh-oleh seperti pakaian, furnitur, ukiran-ukiran, ataupun makanan yang bisa disantap untuk memuaskan lidah para traveller. Dan yang uniknya, sebagian besar lapaknya berada di ruang terbuka tempat orang berlalu-lalang alias di jalan.

Salah satu contoh yang dapat saya sajikan adalah pengelolaan "Lotus Market", salah satu street market yang berada di kota tua Beijing, China. Lotus market adalah warisan sejarah sejak era Dinasti Qing. Pemerintah membuka kawasan ini sebagai ruang publik dengan konsep "Modern Traditional Pedestrian Street". Tujuan utama sebagai prasarana transportasi bagi pejalan kaki di ruang publik. Lokasi ini cocok sebagai kawasan wisata dan ruang terbuka hijau karena menghadap danau Qianhai yang mempunyai banyak tanaman lotus (teratai). Pemerintah kemudian mengatur dan menata lapak-lapak PKL dan kios-kios di wilayah ini secara detail agar tidak hanya menguntungkan pedagang kecil, tetapi juga tidak menghambat mobilitas masyarakat yang berlalu-lalang. Faktor lain adalah jarak yang dekat dengan Imperial City (cari sendiri di google ya). Dari segi regulasi, pemerintah menerapkan aturan yang ketat mengenai proteksi wilayah tersebut agar tetap natural, jauh dari alih fungsi lahan. Sehingga, semangat tradisionalnya tetap terjaga yang terimplementasikan oleh arsitektur bangunan, komoditas jajanan, penataan kebun, dan lain-lain. Namun, masyarakat tetap diberi kesempatan untuk menyuarakan pendapat karena tuntutan perkembangan jaman yang terus berubah dan kondisi bangunan yang menua. Poin lain yang saya garisbawahi adalah persetujuan masyarakat dengan konsep "menjaga alam" yang ditawarkan pemerintah. Hal ini bisa terjadi mungkin karena keuntungan yang didapatkan pedagang dirasakan memadai, ataupun sikap pemerintah China yang sedikit represif terhadap masyarakatnya.  

Gambaran Penataan Lotus Street Market di Beijing, China


Sekarang kita kembali ke "Tanah Abang Street Market" yang sedang diujicobakan oleh Pemprov DKI Jakarta. Kawasan Tanah Abang awalnya merupakan perkampungan dengan kebun-kebun milik orang betawi yang kemudian dialihfungsikan menjadi kawasan perumahan, perkantoran dan perdagangan. Sedangkan Pasar Tanah Abang merupakan warisan sejarah jaman belanda karena didirikan oleh Yustinus Vinck pada tahun 1735. Kawasan ini menurut regulasi terbaru dari Dinas Tata Ruang DKI Jakarta masuk kedalam zona perkantoran, perdagangan, dan jasa. Sekarang kita mencermati, apa fungsi jalan pada kawasan dengan tipe zonasi tersebut. Tentunya fungsi jalan disini sebagai elemen penting yang menjamin konektivitas dan mobilitas orang dan barang di kawasan itu. Penerapan regulasi terkait PKL juga berubah-ubah. Jaman Sutiyoso - Fauzi Bowo PKL ditertibkan, era Jokowi hingga Djarot PKL direlokasi ke Blok G pasar Tanah Abang, sedangkan Gubernur Anis PKL difasilitasi di jalan (sementara) mungkin dengan mengadopsi konsep street market. Setelah membaca berita dari mana-mana, respon masyarakat terbelah. RT/RW tidak setuju karena menutup jalan masuk kampung, pedagang didalam pasar tidak setuju karena mengurangi pendapatan di dalam kios, mengganggu bongkar muat barang, pebisnis lainnya, pejalan kaki, dan tukang angkot juga tidak setuju mengganggu rute/jalur, menghambat arus lalu-lintas, dan mengurangi pendapatan. Sementara itu, PKL tentunya sangat setuju karena kios/lapaknya difasilitasi oleh pemerintah tanpa harus kucing-kucingan lagi dengan Satpol PP saat penertiban.  

Kawasan Pasar Tanah Abang memang merupakan jejak sejarah era kolonial yang perlu kita jaga, selain karena posisinya yang sangat sentral dalam perputaran ekonomi Jakarta dan nasional. Perbaikan dari segi fasilitasnya sangat diperlukan untuk menjamin kenyamanan penjual dan pembeli yang melakukan transaksi. Kita tidak memungkiri bahwa Pemprov DKI tidak ingin menganaktirikan PKL sebagai salah satu elemen masyarakat yang harus difasilitasi dalam berusaha. Namun, pemerintah juga harus hati-hati dalam mengeluarkan kebijakan, terlebih lagi menggunakan fasilitas umum untuk mengakomodir kebutuhan salah satu golongan. Pemprov mempunyai niat baik untuk memfasilitasi PKL berjualan di Jalan Jatibaru, namun kebijakan yang diambil justru bertentangan dengan semangat memajukan dan menyejahterakan sebagian besar pedagang yang sudah patuh regulasi di dalam blok-blok pasar serta para pebisnis yang berkantor di kawasan tersebut. Jalan di Kawasan Pasar Tanah Abang sangat vital untuk kegiatan bongkar muat barang dan mobilitas orang. Pemerintah Kota Beijing sangat ramah terhadap para pejalan kaki, sehingga menerapkan aturan ketat jarak lapak dengan trotoar. Bagaimana bisa di Pasar Tanah Abang oknum preman dan Satpol PP menjual trotoar untuk dijadikan lapak PKL. Pemprov seharusnya mempertahankan bahkan menambah luasan jalan agar perputaran ekonomi menjadi lebih cepat dan efisien. Solusi lain yang menguntungkan semua pihak sangat diperlukan mengingat kawasan ini adalah salah satu pusat perdagangan terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.



Penataan "Tanah Abang Street Market"  Jakarta

Seperti postingan sebelumnya, saya menganggap penggunaan teras seperti "Teras Cihampelas" ala-ala Kota Bandung masih menjadi pilihan terbaik dibandingkan dengan "Tanah Abang Street Market" bagi penyelesaian masalah PKL Pasar Tanah Abang. Solusi ini tentunya dapat diterima bagi pejalan kaki karena menjadi rute alternatif tanpa perlu berdesak-desakan dengan lapak PKL. Masyarakat di kampung sekitar juga tidak terganggu karena PKL yang selama ini menjadi sumber kemacetan telah direlokasi. Kegiatan bongkar muat serta arus barang dan jasa akan menjadi efisien. Bukan tidak mungkin, kesejahteraan masyarakat akan bertambah karena kerugian waktu akibat macet menjadi terpangkas. Bahkan menurut saya, berkaca dari "Lotus Street Market", pengembangan "Teras Tanah Abang" akan membuka peluang wisata baru DKI di kawasan Tanah Abang dengan menggandeng PKL sebagai mitra. Alhasil, gubernur bisa memenuhi janji politik "keberpihakannya" ke semua golongan masyarakat tanpa kontroversi berlebihan. 



Desain Teras Cihampelas, Bandung


Salam Dingin dan Adem dari Kota Hujan 
Moh Zulfajrin






Bahan Bacaan: 
Bo, W., & Wenyi, Z. (2015). Preliminary Study of Urban Design Operation and the Regulation of Public Street in Lotus Market, Beijing, China. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 184 (August 2014), 338–344. http://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.05.099



Jangan Malu Niru Kang Emil

Jakarta memang merupakan kota yang kompleks dengan segala tetek bengek yang memusingkan. Tidak hanya bagi kaum pekerja yang siang malam memikirkan bagaimana keberlanjutan hidup besok pagi, tetapi juga bagi para administrator kota yang notabene adalah pelayan masyarakat. Berbagai kepentingan berbenturan dalam perencanaan kota, sehingga tidak mungkin bisa mengakomodir setiap keinginan ormas, kelompok, ataupun individual masyarakat. Perlu orang-orang yang tegas, kreatif, dan berpengalaman agar solusi kebijakan pemerintah dapat memajukan kota sekaligus menguntungkan masyarakat banyak serta meminimalisir rasa ketidakadilan.

Salah satu contoh yang paling hits jaman now adalah kontroversi pengelolaan kawasan Tanah Abang. Kawasan ini merupakan pusat penjualan pakaian dan tekstil terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Masalah utama Kawasan Tanah Abang adalah menjamurnya pedagang kaki lima (PKL) yang ingin berjualan di trotoar dan badan jalan. Fenomena seperti pasar tumpah ini berakibat pada kemacetan yang parah dan terganggunya pejalan kaki yang lewat. Penertiban kawasan ini sudah dilakukan dari jaman Gubernur Sutiyoso, Joko Widodo hingga Gubernur Kontroversial "Ahok" Basuki T. Purnama.

Hal yang menarik dari kisah penataan kawasan ini adalah bagaimana cara Gubernur Anis Baswedan mengakomodir para PKL dengan fasilitas berupa tenda-tenda khusus yang berada di badan jalan. Bagaimana bisa pemerintah yang mempunyai banyak staf ahli perencanaan dan pengembangan wilayah mengeluarkan kebijakan seperti ini. Saya mengerti gubernur ingin keadilan bagi rakyat kecil (dalam hal ini: PKL) agar mempunyai lapak berjualan yang diatur oleh pemerintah. Akan tetapi kebijakan ini menurut saya kurang tepat, karena fasilitas yang diberikan pemda kepada PKL berada di lokasi yang bukan peruntukkannya. Pemerintah membangun jalan sekaligus trotoarnya dengan biaya yang besar sampai bermilyar-milyar, bukan untuk kegiatan jual beli, melainkan sebagai prasarana yang memudahkan transportasi masyarakat. Jalan yang memadai meningkatkatkan mobilitas orang dan barang, sehingga perputaran ekonomi di kawasan dan pengembangan wilayah bisa menjadi lebih cepat. 

Tindakan pemprov DKI memfasilitasi PKL yang berjualan di badan jalan bukan hanya melanggar hukum (UU 38 2004/ PP 34 2006) dan menyalahi peruntukkan penggunaannya, melainkan juga menghambat pergerakan orang dan barang di wilayah tersebut. Contohnya adalah terhambatnya proses bongkar-muat barang, terancamnya bisnis ekspedisi lintas provinsi dan negara yang berlokasi di kawasan tersebut, persaingan tidak sehat antara PKL dengan penjual di kios-kios resmi, terganggunya akses pejalan kaki, dan terputusnya akses jalan ke kampung di sekitar Tanah Abang.

Seharusnya Gubernur Anis Baswedan dapat menangkap berbagai inovasi perencanaan dan tatakota yang dapat mengakomodir PKL tanpa menabrak peraturan perundang-undangan. Mungkin Pemprov DKI Jakarta belum bisa seperti Pemprov Taipei, salah satu kota yang sempat saya kunjungi beberapa waktu yang lalu. Saya melihat para pedagang diberikan lapak dalam stasiun, terminal, dan koridor-koridor bawah tanah tempat sebagian besar masyarakat berlalu-lalang.

Namun, minimal kita bisa melihat keberhasilan Kang Emil selaku Walikota Bandung mengawal pembangunan "Teras Cihampelas" sebagai ikon wisata sekaligus memfasilitasi PKL yang sebelummya berjualan di trotoar dan badan jalan. Jakarta tidak perlu malu mencontoh Bandung dengan membuat semacam "Teras Tanah Abang", "Teras Jatibaru" atau apapun itu. Bahkan, pemprov dapat merekayasa pejalan kaki agar lewat di "teras" tersebut sehingga menguntungkan para PKL yang berjualan pada lapak-lapak/tenda yang sudah disediakan dan diatur. Pemprov juga tidak perlu takut dengan masalah pembebasan lahan, karena yang kemungkinan akan menjadi masalah adalah jaringan listrik, internet, dan pipa air minum yang terdampak galian konstruksi teras. Hal ini bisa dikoordinasikan antar sesama dinas/suku di lingkungan Pemprov DKI. Tidak perlu perdebatan panjang dan alot mengenai ganti rugi tanah dengan masyarakat. Pendapatan pemprov juga meningkat dan terukur dibanding memelihara PKL yang hanya menguntungkan preman setempat serta oknum satpol PP.

Teras Cihampelas

Saat saya ke Teras Cihampelas, saya menangkap sedikit aroma kesunyian dari lapak-lapak PKL yang ada disana. Mungkin saat itu, waktu kunjungan saya tidak bertepatan dengan weekend ataupun libur nasional. Tetapi melihat kemacetan parah dan geliat ekonomi harian yang berputar kencang di trotoar dan pinggir-pinggir jalan Jatibaru, tentunya "Teras Tanah Abang" (khayalan saya) akan sangat jauh mengungguli Teras Cihampelas dari segi manapun. Jauh lebih ngena kan keberpihakannya???

Salam Dingin dan Adem dari Kota Hujan
Moh Zulfajrin