Jumat, 25 September 2015

PENTINGNYA FAKTOR LINGKUNGAN DALAM GENESIS DAN KLASIFIKASI TANAH: STUDI KASUS TANAH LATOSOL DRAMAGA (ULTISOL), ANDOSOL SUKAMANTRI (ANDISOL) DAN REGOSOL DRAMAGA (ENTISOL)


Oleh : Moh. Zulfajrin
Mahasiswa Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Tanah adalah suatau benda alami heterogen yang terdiri atas komponen padat, cair dan gas yang mempunyai sifat dan perilaku yang dinamik. Ilmu tanah memandang tanah dari dua konsep utama, yaitu  (1) sebagai hasil pelapukan bahan induk melalui proses biofisika-kimia, dan (2) sebagai habitat tumbuhan. Tanah terbentuk oleh hasil kerja dan interaksi antara iklim (i) dan jasad hidup/organisme (o) terhadap bahan induk yang dipengaruhi oleh relief tempatnya/topografi terbentuk (r) serta waktu (w). (Arsyad 2012; Supardi 1983)
Sistem klasifikasi tanah dikembangkan sebagai respon terhadap perkembangan pengetahuan khususnya Ilmu Tanah yang semakin meningkat, Namun, banyak negara mengembangkannya dengan teknik yang berbeda-beda. Sehingga pada negara yang berbeda dijumpai teknik klasifikasi yang berbeda pula. Saat ini, sistem klasifikasi tanah yang paling komprehensif telah dikembangkan oleh USDA (Departemen Pertanian Amerika Serikat) dengan nama Sistem Klasifikasi Taksonomi Tanah (Rachim dan Arifin 2011). Indonesia melalui Pusat Penelitian Tanah juga mengembangkan sistem klasifikasi tanah yang merupakan pengembangan dan modifikasi dari sistem klasifikasi Dudal dan Soepraptohardjo (1957). Sistem ini sendiri merupakan penerapan dari sistem klasifikasi Thorp dan Smith (1949) untuk tanah-tanah di Indoensia (Supardi 1983). Selain itu terdapat pula sistem klasifikasi yang dikembangkan oleh FAO/UNESCO dalam rangka pembuatan peta tanah dunia (Hardjowigeno 2010). Secara umum, teknik klasifikasi modern dikembangkan menjadi lebih kuantitatif dan persamaan pada ciri-ciri morfologi dan kimiawi dari sistem klasifikasi lama yang relatif kualitatif dan didasarkan pada asal/genesis tanah.
       Konsep yang dikembangkan oleh para ahli taksonomi tanah (sistem klasifikasi taksonomi tanah USDA) saat ini adalah konsep pedon yang memberikan kejelasan satuan deskripsi dan seleksi contoh pewakil bagi penyifatan individu tanah. Pedon merupakan luasan terkecil dimana pengamat dapat menggambarkan dan mengambil contoh tanah berkenaan dengan sifat dan pengaturan horison serta keragaman sifat lainnya yang terkandung dalam individu tanah. Jika dilihat dari pandangan tiga dimensi, konsep pedon dapat di bandingkan dengan satuan sel kristal. Akan tetapi, batas bawahnya agak samar tergantung dari karakteristik tanah, kontinuitas horison, keragaman, dan keadaan lingkungan tertentu. Berdasarkan perbedaan-perbedaan itulah, ditetapkan luas pedon berselang antara 1 hingga 10 m2 (Rachim dan Arifin 2011).  
       Pengetahuan mengenai sifat-sifat tanah amat diperlukan dalam melakukan klasifikasi terhadap tanah, mengingat sistem klasifikasi didasarkan pada berbagai kesamaan antar tanah pada berbagai wilayah dan kondisi yang bervariasi. Tanah dimuka bumi memiliki sifat dan perilaku yang berbeda-beda sesuai perbedaan faktor pembentuk tanah. Hal ini memungkinkan perbedaan sifat fisik, kimia, biologi atau mineraloginya. Perbedaan sifat tersebut akan menimbulkan variasi atas kemampuan, kesesuaian dan produktivitas antartanah.
        Sebelum menentukan sifat dan karakteristik tanah, pembelajaran mengenai sifat horison-horison atau lapisan bawah permukaan merupakan suatu keharusan. Sifat masing-masing tanah secara spesifik dapat ditentukan melalui berbagai macam uji. Pengujian langsung di lapangan hanya menentukan sedikit dari sifat-sifat tanah yang meliputi sifat tanah yang dapat dilihat dan diraba. Kelembaban dan suhu tanah dapat dipelajari melalui observasi terhadap variasi perubahannya dalam jangka waktu tertentu pada lokasi yang terpilih yang dapat mewakili individu tanah. Sedangkan sifat tertentu lainnya dapat dipelajari melalui analisis di laboratorium (Rachim dan Arifin 2011). Contoh tanah yang dipelajari harus dapat mencerminkan individu tanah secara utuh. Utuh menunjukkan bahwa sampel tanah yang diambil dan diobservasi di lapang maupun di laboratorium dapat menggambarkan individu tanah baik yang umum maupun yang khusus.
           Dasar paling nyata yang dipakai dalam sistem taksonomi tanah USDA adalah ada tidaknya horison penciri (diagnostic horizon). Horison penciri merupakan syarat klasifikasi yang mengkelaskan tanah yang dideskripsi kedalam satu golongan tertentu yang membedakannya dari tanah yang lain. Jenis horison lain adalah horison genetik yang merupakan horison yang dibentuk oleh proses genesis, dimana didalamnya diduga telah terjadi secara kualitif telah terjadi proses genesis tertentu secara dominan. Horison penciri terbagi menjadi dua yaitu horison penciri atas/epipedon (Yunani: epi = atas, pedon = tanah) dan horison penciri bawah. Berdasarkan namanya epipedon adalah horison atau lapisan tanah yang terbentuk di (sekitar) permukaan tanah.  
         Dalam perkembangannya, para ahli klasifikasi tanah menyadari bahwa kemampuan tanah untuk menopang pertumbuhan tanaman tidak hanya dipengaruhi oleh sifat tanah belaka, tetapi juga oleh faktor lingkungannya. Oleh karena itu, deskripsi lingkungan sekitar profil sangat penting. Lingkungan yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda pula. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, tanah merupakan hasil kerja dan interaksi dari faktor lingkungan dengan bahan induk pada jangka waktu tertentu. Perbedaan antara tanah ultisol (PPT: Latosol Dramaga) dengan andisol (PPT: Andosol Sukamantri) di Kebun Percobaan Cikabayan Dramaga dan Sukamantri IPB merupakan contoh yang umum pada tanah berbahan induk sama. Kedua macam tanah tersebut berbahan induk sama yaitu tuff volkan hasil erupsi Gunung Salak. Pembentukan tanah pada kedua tempat tersebut berada pada ketinggian yang berbeda (dibawah pengaruh iklim berbeda) sehingga hasil interaksi yang dihasilkan juga berbeda.
          Selain itu, lokasi pengambilan sampel tanah juga terkadang menentukan perbedaan macam tanah pada daerah geologik yang sama. Hasil erupsi gunung api tidak hanya berupa tuff volkan, tetapi juga bahan piroklastik berupa pasir dan kerikil. Bahan-bahan kasar dan halus ini dapat terbawa oleh hujan, masuk ke aliran sungai dan dideposisikan di pinggiran sungai seperti daerah dataran banjir. Hasilnya adalah tanah relatif muda (entisol) yang memiliki horison C langsung dibawah horizon A. Pendeposisian material baru secara periodik dapat dilacak secara langsung dan kualitatif dilapang dengan adanya perbedaan tekstur tiap “lapisan” pada horison C serta dapat juga dengan analisis kuantitatif di laboratorium melalui uji C-organik.  Temuan tanah entisol (PPT: Regosol Dramaga) ini cukup berdekatan (±500 meter) dengan tanah ultisol (Latosol Dramaga) dengan posisi ultisol berada pada daerah yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah entisol yang lebih dekat pada sungai Ciapus (diduga merupakan sungai pembawa material bahan induk tanah ini).  Contoh lain adalah kondisi iklim sangat kering di gurun akan membentuk tanah yang berbeda (aridisol) dengan iklim sangat dingin yang membentuk tanah-tanah di daerah kutub (gelisol).
(belum rampung)