Oleh : Moh. Zulfajrin
Mahasiswa Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Tanah adalah suatau benda
alami heterogen yang terdiri atas komponen padat, cair dan gas yang mempunyai
sifat dan perilaku yang dinamik. Ilmu tanah memandang tanah dari dua konsep
utama, yaitu (1) sebagai hasil pelapukan
bahan induk melalui proses biofisika-kimia, dan (2) sebagai habitat tumbuhan. Tanah
terbentuk oleh hasil kerja dan interaksi antara iklim (i) dan jasad
hidup/organisme (o) terhadap bahan induk yang dipengaruhi oleh relief
tempatnya/topografi terbentuk (r) serta waktu (w). (Arsyad 2012; Supardi 1983)
Sistem klasifikasi tanah
dikembangkan sebagai respon terhadap perkembangan pengetahuan khususnya Ilmu
Tanah yang semakin meningkat, Namun, banyak negara mengembangkannya dengan
teknik yang berbeda-beda. Sehingga pada negara yang berbeda dijumpai teknik
klasifikasi yang berbeda pula. Saat ini, sistem klasifikasi tanah yang paling
komprehensif telah dikembangkan oleh USDA (Departemen Pertanian Amerika
Serikat) dengan nama Sistem Klasifikasi Taksonomi Tanah (Rachim dan Arifin
2011). Indonesia melalui Pusat Penelitian Tanah juga mengembangkan sistem
klasifikasi tanah yang merupakan pengembangan dan modifikasi dari sistem klasifikasi
Dudal dan Soepraptohardjo (1957). Sistem ini sendiri merupakan penerapan dari
sistem klasifikasi Thorp dan Smith (1949) untuk tanah-tanah di Indoensia (Supardi
1983). Selain itu terdapat pula sistem klasifikasi yang dikembangkan oleh
FAO/UNESCO dalam rangka pembuatan peta tanah dunia (Hardjowigeno 2010). Secara umum,
teknik klasifikasi modern dikembangkan menjadi lebih kuantitatif dan persamaan
pada ciri-ciri morfologi dan kimiawi dari sistem klasifikasi lama yang relatif
kualitatif dan didasarkan pada asal/genesis tanah.
Konsep yang
dikembangkan oleh para ahli taksonomi tanah (sistem klasifikasi taksonomi tanah
USDA) saat ini adalah konsep pedon yang memberikan kejelasan satuan deskripsi
dan seleksi contoh pewakil bagi penyifatan individu tanah. Pedon merupakan luasan
terkecil dimana pengamat dapat menggambarkan dan mengambil contoh tanah
berkenaan dengan sifat dan pengaturan horison serta keragaman sifat lainnya
yang terkandung dalam individu tanah. Jika dilihat dari pandangan tiga dimensi,
konsep pedon dapat di bandingkan dengan satuan sel kristal. Akan tetapi, batas
bawahnya agak samar tergantung dari karakteristik tanah, kontinuitas horison, keragaman,
dan keadaan lingkungan tertentu. Berdasarkan perbedaan-perbedaan itulah,
ditetapkan luas pedon berselang antara 1 hingga 10 m2 (Rachim dan
Arifin 2011).
Pengetahuan mengenai
sifat-sifat tanah amat diperlukan dalam melakukan klasifikasi terhadap tanah,
mengingat sistem klasifikasi didasarkan pada berbagai kesamaan antar tanah pada
berbagai wilayah dan kondisi yang bervariasi. Tanah dimuka bumi memiliki sifat
dan perilaku yang berbeda-beda sesuai perbedaan faktor pembentuk tanah. Hal ini
memungkinkan perbedaan sifat fisik, kimia, biologi atau mineraloginya.
Perbedaan sifat tersebut akan menimbulkan variasi atas kemampuan, kesesuaian
dan produktivitas antartanah.
Sebelum menentukan
sifat dan karakteristik tanah, pembelajaran mengenai sifat horison-horison atau
lapisan bawah permukaan merupakan suatu keharusan. Sifat masing-masing tanah
secara spesifik dapat ditentukan melalui berbagai macam uji. Pengujian langsung
di lapangan hanya menentukan sedikit dari sifat-sifat tanah yang meliputi sifat
tanah yang dapat dilihat dan diraba. Kelembaban dan suhu tanah dapat dipelajari
melalui observasi terhadap variasi perubahannya dalam jangka waktu tertentu
pada lokasi yang terpilih yang dapat mewakili individu tanah. Sedangkan sifat
tertentu lainnya dapat dipelajari melalui analisis di laboratorium (Rachim dan
Arifin 2011). Contoh tanah yang dipelajari harus dapat mencerminkan individu
tanah secara utuh. Utuh menunjukkan bahwa sampel tanah yang diambil dan
diobservasi di lapang maupun di laboratorium dapat menggambarkan individu tanah
baik yang umum maupun yang khusus.
Dasar
paling nyata yang dipakai dalam sistem taksonomi tanah USDA adalah ada tidaknya
horison penciri (diagnostic horizon).
Horison penciri merupakan syarat klasifikasi yang mengkelaskan tanah yang
dideskripsi kedalam satu golongan tertentu yang membedakannya dari tanah yang
lain. Jenis horison lain adalah horison genetik yang merupakan horison yang
dibentuk oleh proses genesis, dimana didalamnya diduga telah terjadi secara
kualitif telah terjadi proses genesis tertentu secara dominan. Horison penciri
terbagi menjadi dua yaitu horison penciri atas/epipedon (Yunani: epi = atas,
pedon = tanah) dan horison penciri
bawah. Berdasarkan
namanya epipedon adalah horison atau lapisan tanah yang terbentuk di (sekitar)
permukaan tanah.
Dalam perkembangannya,
para ahli klasifikasi tanah menyadari bahwa kemampuan tanah untuk menopang
pertumbuhan tanaman tidak hanya dipengaruhi oleh sifat tanah belaka, tetapi
juga oleh faktor lingkungannya. Oleh karena itu, deskripsi lingkungan sekitar
profil sangat penting. Lingkungan yang berbeda akan memberikan pengaruh yang
berbeda pula. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, tanah merupakan hasil
kerja dan interaksi dari faktor lingkungan dengan bahan induk pada jangka waktu
tertentu. Perbedaan antara tanah ultisol (PPT: Latosol Dramaga) dengan andisol
(PPT: Andosol Sukamantri) di Kebun Percobaan Cikabayan Dramaga dan Sukamantri
IPB merupakan contoh yang umum pada tanah berbahan induk sama. Kedua macam
tanah tersebut berbahan induk sama yaitu tuff
volkan hasil erupsi Gunung Salak. Pembentukan tanah pada kedua tempat
tersebut berada pada ketinggian yang berbeda (dibawah pengaruh iklim berbeda) sehingga
hasil interaksi yang dihasilkan juga berbeda.
Selain itu, lokasi
pengambilan sampel tanah juga terkadang menentukan perbedaan macam tanah pada
daerah geologik yang sama. Hasil erupsi gunung api tidak hanya berupa tuff
volkan, tetapi juga bahan piroklastik berupa pasir dan kerikil. Bahan-bahan kasar
dan halus ini dapat terbawa oleh hujan, masuk ke aliran sungai dan dideposisikan
di pinggiran sungai seperti daerah dataran banjir. Hasilnya adalah tanah relatif
muda (entisol) yang memiliki horison C langsung dibawah horizon A. Pendeposisian
material baru secara periodik dapat dilacak secara langsung dan kualitatif
dilapang dengan adanya perbedaan tekstur tiap “lapisan” pada horison C serta
dapat juga dengan analisis kuantitatif di laboratorium melalui uji C-organik. Temuan tanah entisol (PPT: Regosol Dramaga) ini
cukup berdekatan (±500 meter) dengan tanah ultisol (Latosol Dramaga) dengan
posisi ultisol berada pada daerah yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah
entisol yang lebih dekat pada sungai Ciapus (diduga merupakan sungai pembawa
material bahan induk tanah ini). Contoh lain
adalah kondisi iklim sangat kering di gurun akan membentuk tanah yang berbeda
(aridisol) dengan iklim sangat dingin yang membentuk tanah-tanah di daerah
kutub (gelisol).
(belum rampung)