Beras adalah tanaman pangan yang sangat
penting yang mencukupi hampir 50% kebutuhan pangan masyarakat dunia (Knief
2012). Kedudukan padi atau beras di Indonesia sangat strategis, baik ditinjau
dari segi sosial, ekonomi, dan politik. Pemerintah mencanangkan program
peningkatan produksi beras nasional (P2BN) dengan tujuan terjadi peningkatan
produksi padi setiap tahun (Muis 2010; BPS 2010). Akan tetapi program tersebut
tidak akan berjalan jika benih bermutu (asli, murni, vigor, bersih dan sehat) dan
bibit yang merupakan salah satu penentu keberhasilan budidaya tanaman tidak
dikelola secara maksimal. (Muis 2010).
Saat ini peningkatan pertumbuhan tanaman padi sebagian besar melalui penambahan pupuk inorganik dan zat pengatur tumbuh (ZPT) sintetik. Serangan patogen dicegah melalui penggunaan pestisida sintetik. Selain terbentur pada masalah degradasi lahan, penggunaan pupuk inorganik juga berhadapan pada tingginya biaya produksi dan ancaman pupuk palsu. Residu pestisida sintetik juga menimbulkan permasalahan kesehatan, ekologi dan biaya produksi (Azevedo et al. 2000).
Saat ini peningkatan pertumbuhan tanaman padi sebagian besar melalui penambahan pupuk inorganik dan zat pengatur tumbuh (ZPT) sintetik. Serangan patogen dicegah melalui penggunaan pestisida sintetik. Selain terbentur pada masalah degradasi lahan, penggunaan pupuk inorganik juga berhadapan pada tingginya biaya produksi dan ancaman pupuk palsu. Residu pestisida sintetik juga menimbulkan permasalahan kesehatan, ekologi dan biaya produksi (Azevedo et al. 2000).
Biofertilizer dikembangkan untuk meminimalisir efek
negatif sekaligus menggabungkan fungsi pupuk, ZPT dan pestisida kedalam media
alami berupa semacam konsorsium mikroorganisme. Saat ini banyak formulasi bahan
biofertilizer yang telah diteliti dan dikembangkan untuk mempercepat
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Sebagian besar bahan baku biofertilizer
seperti PGPR (Plant Growth Promoting
Rhizobacteria), mikroorganisme pelarut fosfat (PSB/Phosphate Solubilizing Bacteria) dan berbagai bakteri menguntungkan
lain diekstrak dari ekosistem daerah perakaran tanaman (rizosfer).
Habitat lain yang sangat potensial untuk diteliti sebagai
sumber bahan baku biofertilizer adalah ekosistem daerah permukaan daun
(filosfer). Kemampuan mikroorganisme ekosistem filosfer dalam beradaptasi
terhadap kondisi lingkungan yang selalu berubah pada daun tentunya memberikan
nilai tambah jika dikembangkan sebagai alternatif biofertilizer. Hasil
penelitian terbaru menyatakan bahwa populasi mikroorganisme dengan berbagai
bentuk asosiasinya (konsorsium) dalam ekosistem filosfer dapat memberikan
keuntungan bagi tanaman melalui suplai nitrogen (terutama nitrogen), reduksi
kelebihan distribusi fotosintat, penyediaan zat pengatur tumbuh alami serta
perlindungan terhadap sinar UV dan serangan patogen (Amanda 2010; Bodenhausen et al. 2014).
Source:http://www.howplantswork.com
Ekosistem filosfer (phyllosphere) adalah salah satu habitat
mikroorganisme yang ditemukan pada permukaan daun. Morris dan Kinkel (2002) memperkirakan
luasan global ekosistem ini lebih dari 6,8 × 108 km2.
Bakteri merupakan jenis mikroorganisme yang mengkolonisasi dedaunan dengan
rata-rata sebanyak 106 sampai 107 sel/cm2.
Dengan total estimasi global sebesar 1026 sel, populasi
mikroorganisme filosfer tentunya memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
proses-proses pada biosfer bumi seperti halnya pada tanaman yang menjadi
habitatnya (Lindow dan Brandl 2003). Konsorsium merupakan
bentuk umum yang sering dijumpai dalam ekosistem mikroorganisme baik dalam area
rizosfer (akar) maupun area filosfer. Keduanya menghasilkan eksudat yang
dimanfaatkan oleh konsorsium mikroorganisme yang menghuninya. Sebagai bentuk
mutualisme, daun dan akar mendapatkan tambahan hara, zat pengatur tumbuh, dan
perlindungan terhadap patogen (Lindow dan Brandl 2003; Madhaiyan et al. 2009; Pas 2015).
Penelitian mengenai ekosistem filosfer saat ini di Indonesia masih sangat terbatas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa permukaan daun ditempati oleh komunitas yang terdiri dari ratusan mikroorganisme berbeda (Bodenhausen et al. 2014). Amanda et al. (2010) menemukan variabilitas struktur taksonomik yang tinggi pada ekosistem mikroorganisme filosfer. Keanekaragaman spesies tergantung pada beberapa faktor yang meliputi lingkungan, interaksi antar mikroorganisme, genotip, kondisi tumbuhan dan faktor lingkungan seperti temperatur, ketersediaan air, dan lokasi geografis (Delmotte et al. 2009; Sylla 2013).
Penelitian mengenai ekosistem filosfer saat ini di Indonesia masih sangat terbatas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa permukaan daun ditempati oleh komunitas yang terdiri dari ratusan mikroorganisme berbeda (Bodenhausen et al. 2014). Amanda et al. (2010) menemukan variabilitas struktur taksonomik yang tinggi pada ekosistem mikroorganisme filosfer. Keanekaragaman spesies tergantung pada beberapa faktor yang meliputi lingkungan, interaksi antar mikroorganisme, genotip, kondisi tumbuhan dan faktor lingkungan seperti temperatur, ketersediaan air, dan lokasi geografis (Delmotte et al. 2009; Sylla 2013).
Bakteri yang mendominasi ekosistem
mikroorganisme filosfer adalah dari golongan Proteobacteria, Actinobacteria,
dan Bacteriodetes (Bodenhausen et al. 2014).
Anggota komunitas mikroorganisme filosfer memiliki kemampuan yang spesifik. Strain Pseudomonas
fluorescens yang hidup pada ekosistem filosfer, dilaporkan dapat mengontrol
serangan penyakit yang diakibatkan oleh bakteri tular tanah (soil-borne pathogens)
(Weller 1988; Wilson et al.
1991). Bakteri fiksator nitrogen antara lain Azospirillum, Seratia, Enterobacter, dan Klebsiella oxytoca (Pas 2015).
Bakteri Bacillus mycoides dapat
menghasulkan hormon pertumbuhan dan meningkatkan resistensi tanaman bit
terhadap serangan penyakit (Fukuda et al.
1989; Bargabus et al. 2002). Phyllobacterium myrsinacearum dan methyllobacterium phyllosphaerae yang
ditemukan mendominasi anggota komunitas filosfer mengonsumsi metanol yang
disekresikan oleh tanaman dan memberikan fitohormon berupa auksin, sitokinin
dan vitamin (Madhaiyan et al. 2009)
Pas (2015) melaporkan
bahwa konsorsium mikroorganisme dari ekosistem mikroorganisme filosfer Kabupaten
Sigi, Sulawesi Tengah dapat menurunkan penggunaan pupuk nitrogen sebesar 50
persen. Pati (1992) mengembangkan
isolat Azotobacter chroococum dan Beijerinckia indica dari
filosfer padi dan yute untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi padi.
Knief (2012) melaporkan
bahwa pemanfaatan konsorsium mikroorganisme filosfer terhadap tanaman padi
masih belum banyak dikembangkan. Padahal, aplikasi dalam bentuk konsorsium akan
meningkatkan daya adaptasi dan kompetisi mikroorganisme pada lingkungan yang
berbeda-beda. Berbagai keunggulan inilah yang membuat konsorsium mikroorganisme
filosfer sangat potensial untuk dikembangkan sebagai agen pemercepat
pertumbuhan, pereduksi penggunaan pupuk inorganik dan pengganti pestisida dalam
bentuk biofertilizer pada tanaman padi.
Source: http://www.howplantswork.com
DAFTAR PUSTAKA
Amanda
et al. 2010. The ecology of the
phyllosphere: geographic and phylogenetic variability in the distribution of
bacteria on tree leaves.
Environmental Microbiology. 2(11):
2885–2893
Azevedo JL, et
al. 2000. Endophytic
microorganisms: a review on insect control and recent advances on tropical
plants.
Electronic Journal of Biotechnology. 3(1):40-65
Bargabus
RL, et al. 2002. Characterization of
systemic resistance in sugar beet elicited by a non-pathogenic,
phyllosphere-colonizing Bacillus mycoides, biological control agent. Physiological and Molecular Plant Pathology.
61(5):289–298
Bodenhausen
N, et al. 2014. A synthetic community
approach reveals plant genotypes affecting the phyllosphere microbiota. PLoS Genet. 10(4): e1004283
[BPS]
Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Indonesia 2008/2009. Jakarta (ID): Badan
Pusat Statistik
Dardanelli
MS, et al. 2010. Benefits of Plant Growth-Promoting Rhizobacteria and Rhizobia in
Agriculture. [Editor: Maheswari KD]. Plant Growth and Health Promoting
Bacteria vol 18. New York (US): Springer-Verlag Berlin Heidelberg
Delmotte
N, et al. 2009. Community proteogenomics reveals insights
into the physiology of phyllosphere bacteria. PNAS. 106(38): 16428–16433
Knief,
et al. 2012. Metaproteogenomic
analysis of microbial communities in the phyllosphere and rhizosphere of rice.
[Original Article]. International Society
for Microbial Ecology. 6(2012):1378–1390
Lindow SE, Brandl MT. 2003. Microbiology of
Phyllosphere. Applied Environmental.
Microbiology. 69(4):1875-1883
Madhaiyan
M, et al. 2009. Methylobacterium
phyllosphaerae sp. nov., a pink-pigmented, facultative methylotroph from the
phyllosphere of rice. International
Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology. 59(2009):22–27
Muis
A. 2010. Pengkajian Pemetaan Kebutuhan Benih Padi, Jagung, dan Kedelai {Vub,
Volume) dan Pengembangan Penangkar Benih yang Efisien {>10%) Di Sulawesi
Tengah. [Laporan akhir]. Palu (ID): Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah
Pas AA. 2015. Pemanfaatan Konsorsium Mikroorganisme
Filosfer dan Rhizosfer Asal Berbagai Ekosistem Di Kabupaten Sigi Provinsi
Sulawesi Tengah Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman Padi. [Disertasi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor
Pati BR. 1992. Effect
of spraying nitrogen fixing phyllospheric bacterial isolates on rice plants.
Zentralbl. Mikroorganismeiol. 147(1992):441-446
Sylla
J. 2013. Phyllosphere of Organically Grown Strawberries: Interactions between
the Resident Microbiota, Pathogens and Introduced Microbial Agents.
[Disertasi]. Alnarp (): Swedish University of Agricultural Sciences